Berdayakan Warga Lokal dalam Pembangunan Pariwisata
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
Pembangunan 10 destinasi pariwisata prioritas semestinya memberdayakan masyarakat lokal. Tujuannya menciptakan ekonomi lokal yang berkelanjutan.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah mengejar penyelesaian pembangunan infrastruktur dasar dan amenitas pariwisata di sepuluh destinasi prioritas. Harapannya, seluruh proses pembangunan telah selesai pada tahun 2019. Di luar prasarana fisik tersebut, pengembangan industri pariwisata diharapkan tidak melupakan pemberdayaan masyarakat lokal.
Kesepuluh destinasi pariwisata prioritas tersebut, yaitu Danau Toba (Sumatera Utara), Tanjung Kelayang (Kepulauan Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), dan Candi Borobudur (Jawa Tengah). Lalu Bromo Tengger Semeru (Jawa Timur), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Morotai (Maluku Utara).
Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Guntur Sakti yang dihubungi di Jakarta Jumat (14/9/2018) mengatakan, pihaknya rutin mengukur pencapaian pembangunan mulai dari aksesibilitas, amenitas atau segara fasilitas pendukung pariwisata, hingga perkembangan industri. Hasil pengukuran berupa skor. Semakin tinggi angka, pencapaiannya dinilai bagus.
Per tanggal 7 September 2018, rata-rata skor performa pembangunan sepuluh destinasi prioritas yaitu 100,8 persen. Sebanyak enam destinasi prioritas pariwisata memiliki skor di atas 100 persen, yaitu Labuan Bajo, Kepulauan Seribu, Mandalika, Morotai, Tanjung Kelayang, dan Tanjung Lesung. Empat destinasi yang memiliki pencapaian kurang dari 100 persen adalah Wakatobi, Bromo-Tengger-Semeru, Candi Borobudur, dan Danau Toba.
Pencapaian pembangunan di Wakatobi yang dinilai masih kurang adalah amenitas, iklan, dan industri. Salah satu solusi yang akan dijalankan yaitu pelatihan pemasaran digital pada Oktober 2018.
Di destinasi Bromo-Tengger-Semeru, faktor aksesibilitas dan amenitas dinilai belum sesuai kualitas yang diinginkan. Kendalanya antara lain terkait pembangunan jalan Tol Probolinggo–Banyuwangi karena masalah penetapan lokasi yang belum diputuskan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Sementara di destinasi Candi Borobudur, kata Guntur, pencapaian pembangunan faktor aksesibilitas, amenitas, dan sumber daya manusia memiliki skor di bawah 100 persen. Soal aksesibilitas, misalnya, Tol Bawen- Yogyakarta saat ini masih dalam proses penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan dokumen pertanahan.
Penyusunan rencana induk Kawasan Otorita Borobudur (Visioning Masterplan) juga masih menunggu diselesaikannmya proses pengukuran lahan yang dijadwalkan minggu kedua bulan September 2018.
Adapun Danau Toba, faktor iklan, penjualan, dan industri belum memiliki performa pembangunan sesuai yang diinginkan. Salah satu penyebab yaitu peluncuran program pencitraan destinasi Danau Toba belum kunjung dilaksanakan.
Ketua Tim Percepatan Pembangunan Sepuluh Bali Baru Kemenpar, Hiramsyah S Thaib menyebutkan, tantangan pembangunan aksesibilitas maupun amenitas mencakup legalitas, sinkronisasi koordinasi lintas kementerian dan lembaga, dan anggaran. Selama tiga tahun terakhir, tantangan ini coba diatasi secara serius.
Terkait anggaran pembangunan, Bank Dunia berkomitmen mengucurkan dana sebesar 300 juta dollar AS. Peruntukannya, pembangunan aksesibilitas destinasi Mandalika, Danau Toba, dan Candi Borobudur.
"Dana dari Bank Dunia tersebut sifatnya dukungan. Tujuannya, yakni menambah keyakinan dan kepastian pembangunan infrastruktur," kata Hiramsyah.
Pemberdayaan
Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, M Baiquni yang dihubungi secara terpisah berpendapat, pembangunan sepuluh destinasi pariwisata prioritas semestinya menekankan pula pada pemberdayaan sumber daya manusia lokal. Penekanan ini bertujuan menciptakan ekonomi lokal yang berkelanjutan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar destinasi wisata. "Ada kebijakan pembangunan dibuat top-down, bukan sebaliknya," katanya.
Sebagai ilustrasi, Baiquni menyebutkan, pengembangan amenitas rumah singgah (homestay) di salah satu destinasi. Pemerintah pusat menggerakkan beberapa badan usaha untuk berpartisipasi dalam pengembangan, tetapi hakikat konsep homestay justru hilang.
"Jadinya malah lahir homestay-homestay yang dikelola seperti vila. Padahal, hakikat homestay adalah ada integrasi dan komunikasi langsung antara tamu dengan pemilik rumah," ujarnya.
Baiquni menambahkan, arah pembangunan sepuluh destinasi prioritas perlu memperhatikan kondisi dan segmentasi pasar. Ada beberapa destinasi prioritas tidak bisa dikelola masif agar tetap terjaga kelestariannya. Misalnya, Morotai yang kaya kekayaan alam dan sejarah perang dunia II.