JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan di Papua dan Papua Barat diharapkan mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian alam. Saat ini, pembangunan yang dilakukan semakin mendesak kelestarian hutan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat lokal.
Pesan dan harapan ini disuarakan anak-anak muda Papua melalui pemutaran empat film dokumenter, diikuti Diskusi Lingkar Papua yang diselenggarakan Yayasan EcoNusa, di Jakarta, Jumat (14/9/2018). Keempat film pendek tersebut adalah Kehidupan di Hutan Mobak, Mama Mariode, Pemburu Terakhir, dan Mama Kasmira Pu Mau. Film-film tersebut disutradarai anak-anak Papua yang tergabung dalam Papuan Voices.
Film di Kehidupan di Hutan Mobak, misalnya, bercerita tentang kehidupan masyarakat suku Maya di Raja Ampat yang hidupnya bergantung pada hutan dengan menokok sagu dan berburu binatang. ”Pesan yang ingin kami sampaikan adalah jika hutan Mobak hilang, demikian juga dengan kehidupan masyarakatnya. Bagi mereka, hutan adalah ibu,” kata Ottow Wanma, sutradara film ini.
Sementara film Pemburu Terakhir berkisah tentang hilangnya binatang buruan di Taman Nasional Wasur, Merauke, akibat perburuan oleh aparat keamanan. Akibatnya, masyarakat lokal yang bergantung hidupnya pada binatang buruan kini beralih dengan menebang kayu.
Film Mama Mariode berkisah tentang sosok perempuan di Sorong yang lahan ulayatnya telah diambil perusahaan sawit. ”Sorong merupakan daerah paling awal di Papua yang dieksploitasi sejak zaman Belanda, bahkan sebelum tambang Freeport di Timika. Setelah minyak, kemudian penebangan hutan, dan sekarang sawit. Tetapi, pembangunan masyarakatnya terabaikan sampai sekarang dengan kondisi pendidikan dan kesehatan yang buruk,” tutur Agustinus Kalalu, sutradara film ini.
Adapun film Mama Kasmira Pu Mau berkisah tentang penyesalan buruh perempuan di perkebunan sawit Kabupaten Keerom. Sang tokoh, Mama Kasmira, berpesan kepada masyarakat Papua agar tidak melepaskan tanah ulayatnya untuk perkebunan sawit.
”Sebelumnya kami tanam cokelat (kakao). Kalau itu enak, sampai kita meninggal anak cucu masih bisa panen. Tapi kalau sawit, tidak,” ujar Kasmira.
Kritik sosial
Koordinator Papuan Voices Markus Binur mengatakan, film-film dokumenter yang diproduksi anak-anak muda Papua ini dimaksudkan sebagai kritik sosial terhadap pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang kerap kali abai dengan hubungan sosial antara hutan dan masyarakat.
”Seharusnya hubungan sosial ini harus dijaga karena begitu rusak, maka rusak juga budaya masyarakat,” ucap Markus.
Tak hanya mengkritik pemerintah, menurut Markus, film-film ini juga mengkritik tetua adat dan tokoh-tokoh lokal yang kerap menjual tanah ulayatnya. ”Kebanyakan yang bersuara hanya perempuan, seperti tokoh Mama Kasmira dan Mariode. Jadi, ini juga pesan kepada bapak-bapak yang suka jual tanah dan menggunakan uangnya untuk mabuk dan ke bar-bar,” katanya.
Kebanyakan yang bersuara hanya perempuan. Jadi, ini juga pesan kepada bapak-bapak yang suka jual tanah dan menggunakan uangnya untuk mabuk dan ke bar-bar.
Markus menyebutkan, masalah terbesar di Papua dan Papua Barat saat ini adalah buruknya pelayanan dasar, terutama pendidikan dan kesehatan. Infrastruktur jalan memang dibutuhkan untuk membuka isolasi geografis. Namun, dalam praktiknya, hal ini sering diikuti dengan pembukaan hutan dan perluasan sawit.
Markus sengaja memilih menggunakan medium film dokumenter untuk menyuarakan persoalan Papua. ”Kami sudah lelah dengan kekerasan dan selama ini hal itu juga tidak memberikan perubahan kepada masyarakat. Justru Papua identik dengan kekerasan dan konflik,” lanjutnya.
Sebelumnya, dalam peluncuran persiapan penyelenggaraan International Conference on Biodiversity, Ecotourism, and Creative Economy di Manokwari pada Maret 2018, Pemerintah Papua Barat telah menyatakan ingin menjadi provinsi konservasi dengan mencadangkan sekitar 70 persen luas wilayahnya sebagai kawasan lindung. Selain untuk menjaga keanekaragaman hayati yang dimiliki, paradigma pembangunan ini juga dinilai lebih sesuai bagi masyarakat adat Papua (Kompas, 7/3/2018).