JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya jumlah pemilih milenial pada Pemilihan Umum 2019 menjadikan setiap pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden fokus meraih suara generasi yang berusia 17-38 tahun tersebut. Salah satu isu yang dinilai dapat menarik suara pemilih milenial ialah keberadaan lapangan pekerjaan.
Kaum milenial adalah generasi yang lahir awal 1980-an hingga awal 2000-an. Dalam Pemilu 2019, kaum milenial adalah pemilih yang berusia 17-38 tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari hasil Sensus 2010, diproyeksikan jumlah pemilih milenial pada 2019 berkisar 55-58 persen. Hingga Juni 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan jumlah daftar pemilih tetap sekitar 185,7 juta orang.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Adjie Alfarabie, di Jakarta, Sabtu (15/9/2018), menyampaikan, tiap pasangan capres-cawapres perlu membuat isu dan program kerja yang dapat merepresentasikan kebutuhan kaum milenial untuk meraih suara generasi ini. Salah satu isu yang dinilai dapat menarik suara pemilih milenial adalah isu lapangan pekerjaan.
”Pemilih milenial tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di perdesaan sehingga daya tariknya pun berbeda. Isu lapangan pekerjaan lebih merepresentasikan kebutuhan kaum milenial di semua wilayah untuk diperjuangkan. Tetapi, saat ini belum ada isu strategis yang dilempar tiap calon dan dikonsumsi secara puas bagi kaum milenial,” tutur Adjie.
Adjie menjelaskan, saat ini kedua pasangan capres-cawapres masih sebatas memperkuat aspek ketokohan sebagai simbol untuk menggaet suara kaum milenial. Padahal, aspek tersebut tidak akan bertahan lama jika ingin merebut suara pemilih milenial.
Hal itu terlihat dari penunjukan Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Begitu pula cawapres Sandiaga Uno yang masih mempertahankan sosok pengusaha muda untuk meraih suara dari kalangan milenial.
Hal senada diungkapkan pakar branding milenial Yuswohady. Menurut dia, generasi milenial lahir pada masa penuh gejolak dan krisis ekonomi sehingga berdampak pada sulitnya mencari lapangan pekerjaan. ”Mereka hidup di zaman susah sehingga butuh lapangan kerja,” katanya.
Akan tetapi, Yuswohady juga mengingatkan bahwa generasi milenial cenderung apatis dengan politik. Oleh karena itu, setiap pasangan perlu melakukan pendekatan yang berbeda, bukan dengan bahasa politik.
Dimanfaatkan partai
Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Sumatera Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, selain pilpres, besarnya ceruk generasi milenial secara langsung juga akan dimanfaatkan partai politik untuk meraih suara dalam pemilihan legislatif mendatang.
Meski demikian, Ahmad menyatakan, Golkar cukup berat menggaet suara pemilih milenial. Hal ini karena Golkar telah dianggap sebagai partai orang tua dan memiliki citra negatif akibat kasus megakorupsi KTP elektronik dari bekas Ketua Umum Golkar Setya Novanto.
Oleh karena itu, menurut Ahmad, saat ini anggota dan semua kelompok anak-anak muda Golkar gencar melakukan kampanye membersihkan partai dari kasus korupsi. ”Mau tidak mau, kami harus masuk untuk meraih suara milenial karena merupakan pemilih terbesar,” ujarnya.
Selain Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) juga akan memanfaatkan suara milenial untuk memenangi pemilu legislatif ataupun presiden. Namun, strategi yang diterapkan PAN, menurut Wakil Sekjen DPP PAN Faldo Maldini, tidak hanya menyasar kaum milenial, tetapi juga semua kalangan.
”Kampanye yang kami gunakan ialah multidimensi. Kami percaya semua suara harus dirangkul, mulai dari emak-emak dan bapak-bapak. Setiap politisi PAN yang hadir ke publik juga sudah mempunyai konten yang cukup untuk berkampanye sehingga dapat meyakinkan semua kalangan,” tutur Faldo.