Jangka Pendek, Suku Bunga Jadi Solusi
JAKARTA, KOMPAS--Nilai tukar rupiah masih belum stabil, bertengger di kisaran Rp 14.800-Rp 14.900-an per dollar AS, selama hampir dua pekan terakhir. Dalam jangka pendek, Bank Indonesia perlu segera menaikkan suku bunga acuan untuk menahan dan menarik likuiditas valuta asing.
Pemangku kepentingan terkait juga perlu melakukan pendekatan nonpasar kepada para investor, eksportir, dan importir. Di sisi lain, ekspor perlu dioptimalkan dengan meningkatkan perdagangan minyak sawit dan menerapkan skema imbal dagang.
Untuk jangka menengah dan panjang, defisit transaksi berjalan yang menjadi penyebab pelemahan rupiah perlu dibenahi lebih serius. Jika tidak, Indonesia akan selalu rentan krisis ketika kondisi eksternal bergejolak.
Hal itu mengemuka dalam diskusi panel ekonomi Kompas bertema “Menahan Laju Pelemahan Nilai Tukar Rupiah” di Jakarta, Jumat (14/9/2018). Hadir sebagai narasumber diskusi, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah, pengajar Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta A Prasetyantoko, Kepala Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri, dan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono.
Faisal mengatakan, tekanan eksternal terhadap rupiah semakin kuat. Bank Sentral AS diperkirakan menaikkan suku bunga acuan pada 26 September 2018 waktu setempat. Hal itu akan membuat imbal hasil obligasi Pemerintah AS semakin menarik, sehingga potensi modal asing keluar dari negara-negara berkembang cukup besar.
“Jika suku bunga acuan The Fed naik, BI perlu merespons dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin. Suku bunga acuan yang saat ini sebesar 5,5 persen tidak akan mampu mendorong penguatan rupiah,” kata Faisal.
Suku bunga acuan yang saat ini sebesar 5,5 persen tidak akan mampu mendorong penguatan rupiah.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Jumat (14/9), nilai tukar melemah dari sehari sebelumnya, Rp 14.794 per dollar AS, menjadi Rp 14.835 per dollar AS. Di pasar tunai, rupiah ditutup pada posisi Rp 14.805 per dollar AS, menguat 0,24 persen dari level penutupan hari sebelumnya.
Prasetyantoko mengatakan, likuiditas valuta asing (valas) sudah mulai mengetat karena modal asing yang keluar cukup besar. Di sisi lain, devisa negara banyak digunakan untuk menstabilkan nilai tukar, membayar dividen dan bunga utang luar negeri, serta membiayai impor.
Masalah jangka pendek saat ini adalah likuiditas. Untuk itu, pemangku kepentingan terkait perlu mencari cara agar likuiditas tidak semakin mengetat.
“Misalnya, pembayaran dividen bisa ditahan satu atau dua bulan. Pendekatan nonpasar juga dapat dilakukan kepada para pelaku terkait. Tujuannya, menahan laju berkurangnya devisa,” ujar Prasetyantoko.
Nanang Hendarsah mengemukakan, suplai valas ke pasar valas di dalam negeri semakin berkurang. Salah satu indikatornya, penjualan devisa hasil ekspor oleh 20 eksportir terbesar berkurang, dari sekitar 120 juta dollar AS pada Juli 2018 menjadi sekitar 20 juta dollar AS pada Agustus 2018.
Penjualan devisa hasil ekspor yang berkurang itu seiring dengan keluarnya modal asing dari pasar portofolio domestik. Hingga Juli 2018, aksi jual investor asing di pasar obligasi menyebabkan kinerja surat berharga negara (SBN) minus 0,9 persen.
“Meskipun masih dalam skala terbatas, eskportir mulai menjual devisa hasil ekspor di sekitar kurs tunai interbank. Namun jumlahnya belum sepenuhnya bisa menutup pembelian valas untuk impor dan dalam rangka repatriasi kupon SBN. Pembelian SBN oleh investor asing pada Jumat telah membukukan beli bersih Rp 331 miliar,” kata dia.
Reformasi struktural
Nanang juga berharap porsi kepemilikan SBN oleh asing semakin berkurang dan digantikan investor domestik. Saat ini porsi kepemilikan investor asing terhadap SBN sekitar 37 persen.
"Selain itu, Indonesia juga perlu meningkatkan investasi asing langsung yang berorientasi ekspor. Selama ini orientasinya masih banyak ke pasar domestik," tambah Nanang.
Enrico menyatakan, kondisi ketidakpastian global seperti saat ini menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk mereformasi permasalahan fundamental. Defisit transaksi berjalan yang terjadi sejak triwulan IV-2011 disebabkan reformasi struktural yang tidak optimal.
Industri dasar dan manufaktur harus segera dibenahi agar tidak menjadi penyebab defisit transaksi berjalan. Di tengah peningkatan tekanan perang dagang, negosiasi perdagangan perlu lebih ditingkatkan.
“Jika AS jadi memberlakukan tarif produk China senilai 200 miliar dollar AS, Indonesia berpotensi terdampak. Sebab, ada kemungkinan AS akan menerapkannya pada komoditas-komoditas yang selama ini mendapat keistimewaan tarif. Jika hal itu terjadi, tarif yang semula di bawah 5 persen bisa naik menjadi 25 persen,” kata dia.
Jika AS jadi memberlakukan tarif produk China senilai 200 miliar dollar AS, Indonesia berpotensi terdampak.
Sementara itu, Joko Supriyono menyatakan, ekspor CPO dan produk turunannya berpotensi ditingkatkan. Namun, hambatan perdagangan terjadi di sejumlah negara, seperti Uni Eropa, India, dan Afrika.
Di India, tarif bea masuk CPO sangat tinggi, yaitu sebesar 49 persen dan produk turunan CPO sebesar 59 persen. Hal itu menyebabkan ekspor CPO ke India pada Juli 2018 turun sebesar 29,63 persen dibandingkan Juli 2017.
“Kalau menunggu negosiasi akan memakan waktu lama. Pemerintah sebaiknya mengurangi pungutan hasil ekspor menjadi 10-20 persen, sehingga akan membuat harga CPO dan produk turunan lebih berdaya saing di pasar India,” kata dia.
Faisal menambahkan, dalam negosiasi perdagangan, Indonesia perlu menerapkan skema imbal dagang. Skema tersebut bisa diterapkan kepada China, karena Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan paling besar dengan negara itu. (HEN)