JAKARTA, KOMPAS — Kebiasaan bertutur dengan mencampuradukkan kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah tanda kemalasan berpikir. Kebiasaan itu secara tidak disadari akan melemahkan kemampuan berbahasa si penutur memilih kosakata yang tepat.
Ivan Lanin, wikipediawan dan pencinta bahasa Indonesia, menyatakan gemas melihat orang yang mencampuradukkan kosakata asing ketika bertutur. ”Alih-alih terlihat lebih pintar, itu justru menunjukkan ketidakmampuan memilih istilah bahasa yang tepat,” ujar Ivan, Sabtu (15/9/2018).
Hal itu disadari Ivan pada 2006 ketika ia mulai giat berkontribusi untuk Wikipedia Bahasa Indonesia. Saat menulis untuk Wikipedia yang mensyaratkan penggunaan bahasa formal, Ivan menyadari kemampuan berbahasanya yang kurang baik.
Latar belakang pendidikan teknik tak menghalangi Ivan menggeluti bidang bahasa dengan serius. ”Justru latar belakang keilmuan itu yang membuat saya tidak bisa terima dengan istilah pokoknya,” katanya.
Ivan bercerita, awalnya dirinya penasaran mengapa kata ”Anda” harus ditulis dengan huruf A besar. Ia juga ingin tahu mengapa ada sejumlah kosakata yang dinilai lebih pas digunakan ketika bertutur dengan orang yang lebih tua.
Kekhasan bahasa Indonesia itu yang menguatkan motivasi Ivan mempelajari lagi aspek linguistik bahasa Indonesia secara otodidak. Bagi Ivan, kemampuan berbahasa adalah kunci menyampaikan ide dengan baik.
”Karena saya lebih paham bahasa Indonesia daripada bahasa lainnya, lebih mudah mengembangkan kemampuan bahasa Indonesia saya ketimbang bahasa lain,” tulis Ivan dalam bukunya, Xenoglosofilia Kenapa Harus Nginggris?.
Xenoglosofilia berarti kecenderungan menggunakan kata aneh dengan cara tidak wajar. Istilah itu dipilih Ivan sebagai judul bukunya untuk mengkritik kebiasaan orang Indonesia yang nginggris agar terlihat pandai.
Fenomena bahasa gaul anak Jakarta Selatan yang viral di media sosial adalah contoh tepat kebiasaan orang Indonesia mencampuradukkan istilah asing saat bertutur.
”Sebenarnya, sah-sah saja memakai bahasa apa pun ketika berkomunikasi. Namun, alangkah baik jika kita mau belajar menggunakan bahasa identitas kita dengan benar,” ujar Ivan.
Menanggapi komentar Ivan, wartawan senior Kompas, Mulyawan Karim, mengatakan, terkadang bangsa ini keranjingan menggunakan bahasa asing tanpa berpikir apa dampaknya. Bahasa Indonesia dianggap kuno dan bahasa Inggris dianggap yang nomor satu.
”Banyak orang menganggap bahasa Inggris identik dengan kemajuan, padahal tidak selalu begitu. Banyak juga orang Jepang yang tidak bisa berbahasa Inggris, padahal Jepang salah satu negara paling maju di Asia,” tutur Mulyawan.
Kemampuan berbahasa asing, Ivan menambahkan, bukan satu-satunya indikator kemajuan. Menurut dia, ketekunan menerjemahkan karya asing juga penting mendorong kemajuan suatu bangsa.
”Menurut saya, daripada berdebat mana bahasa yang lebih unggul, lebih baik kita berdebat bagaimana caranya meningkatkan minat baca orang Indonesia,” ujar Ivan. (PANDU WIYOGA)