JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum menyatakan menerima putusan Mahkamah Agung yang membatalkan dua peraturan KPU yang melarang bekas narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif. Namun, putusan MA itu berpotensi cacat formil karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dua peraturan KPU (PKPU) yang dibatalkan MA itu adalah PKPU No. 26/2018 tentang Pencalonan Anggota DPD serta PKPU 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD. Putusan ini diambil oleh majelis hakim agung yang diketuai Supandi.
Juru bicara MA Suhadi, Jumat (14/9/2018) mengatakan, dua PKPU itu dibatalkan Kamis lalu dengan pertimbangan karena bertentangan dengan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. “UU Pemilu membolehkan mantan napi korupsi mencalonkan diri jadi anggota legislatif, sedangkan PKPU melarangnya. Dengan demikian, ketentuan yang lebih rendah (PKPU) bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi atau UU,” jelasnya.
Sementara itu, UU Pemilu juga tak lepas dari permohonan uji materi. Kini, setidaknya ada empat permohonan uji materi terhadap UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), yakni terkait ambang batas pencalonan presiden, masa jabatan wakil presiden, dana kampanye, dan pengertian citra diri dalam kampanye. Terkait hal itu, Pasal 55 UU No. 24/2003 tentang MK menyatakan, “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.”
Dengan pertimbangan ini, pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menilai pembatalan dua PKPU oleh MA tersebut cacat secara formil karena UU yang jadi dasar pengujian masih dalam proses uji materi di MK. “Secara normatif, MA melanggar Pasal 55 UU MK,” tegasnya.
Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017 juga menyebutkan, penangguhan perkara uji materi di MA dilakukan jika UU yang jadi batu ujinya sedang diperiksa MK.
Korupsi
Pembatalan dua PKPU oleh MA ini, dilakukan di tengah maraknya proses hukum terhadap anggota legislatif. Pada 2004-2017, ada 144 anggota DPR dan DPRD yang diproses hukum KPK. Jumlah ini belum termasuk 41 anggota DPRD Kota Malang dan 38 anggota DPRD Sumatera Utara yang tahun ini ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK.
Ketua KPU RI Arief Budiman, menyatakan, menghormati putusan MA dan akan menjalankannya.
Ketua Bawaslu Abhan menuturkan putusan MA itu tidak berlaku untuk bacaleg yang sudah diganti oleh partai politik pada masa perbaikan daftar calon. Namun, putusan itu berlaku untuk semua bacaleg bekas napi korupsi yang tidak diganti oleh partai politik, tetapi dinyatakan tak memenuhi syarat oleh KPU, baik mereka mengajukan sengketa maupun tidak mengajukan sengketa ke Bawaslu.
Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menyatakan, partainya sudah terlanjur menarik dan mengganti bacaleg yang berstatus bekas napi korupsi, kecuali Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik. Sekretaris Jenderal Partai Hanura Herry Lontung Siregar mengatakan, berhubung partainya belum menarik bacaleg yang berstatus bekas napi korups, maka Hanura akan mempertahankan bacaleg tersebut.