Bukan Sekadar Bahu Sandaran
Hidup di kota dengan segala tekanan dan keterbatasan membuat orang mudah stres. Individualisme yang kuat membuat kaum urban makin sulit bergantung kepada teman atau kerabat. Mencari bantuan dari profesional pun bukan perkara mudah. Tak melulu soal akses yang terbatas, tetapi berbicara kepada psikolog butuh keberanian khusus.
Ani (38), warga Kopo, Kota Bandung, Jawa Barat, penuh semangat menceritakan permasalahannya. Raut mukanya serius. Sesekali tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri untuk mendukung perkataannya, sekaligus membetulkan kerudung motif bunga di wajahnya.
Meski hanya duduk di lantai semen di salah satu sudut Taman Dewi Sartika Balai Kota Bandung, semangat bercerita tetap menggebu. Walau pundaknya digelayuti anaknya, lalu lalang orang di belakangnya, hingga suara kencang musik dari pengeras suara yang tak jauh dari tempat duduknya, tidak membuat konsentrasi Ani terganggu.
Di depannya, seorang psikolog berbaju putih dari Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Jabar mencermati setiap keluh kesah Ani. Sesekali ia menimpali ucapan Ani. Ia pun berusaha mengurai dan memilah masalah yang disampaikan hingga memberi pilihan saran dan konsekuensinya.
Ani pun mendengarkan setiap ucapan psikolog itu dengan saksama. ”Kalau curhat ke teman, hasilnya beda. Beban memang seperti terlepas, tetapi solusinya tidak ada,” kata Ani, Minggu (9/9/2018). Solusi yang ditawarkan psikolog memberinya persepsi berbeda dalam memandang persoalan yang dihadapinya.
Konsultasi psikologi yang diikuti Ani itu merupakan bagian dari kegiatan yang dilakukan Himpsi Jabar bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bandung melalui program Konseling Silih Asih (Kekasih) Juara yang dilaksanakan sejak Oktober 2017.
Kini, layanan psikologi gratis itu dilaksanakan tiap dua minggu sekali di dua tempat berbeda, yaitu Taman Cikapayang, Dago, dan Taman Dewi Sartika. Untuk setiap lokasi, Himpsi Jabar menyediakan 3-4 psikolog. Namun, khusus menyambut Kongres XIII Himpsi di Bandung pada 6-9 September lalu, mereka menyediakan 100 psikolog.
Belum populer
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, menemui psikolog untuk berkonsultasi masih dianggap hal negatif. Mereka yang mengikuti konsultasi psikolog sering distigma sebagai orang yang mengalami gangguan jiwa.
”Psikolog bukan orang pertama yang ada di pikiran masyarakat saat menghadapi masalah,” kata seorang pemuda peserta konseling asal Cicadas, Bandung, yang ingin namanya disebut MAKP (22) saja. Pilihan utama untuk berkeluh kesah umumnya adalah teman, orangtua, kerabat, atau tokoh agama.
Namun, karena merasa butuh pandangan profesional untuk membantu menyelesaikan permasalahannya, MAKP pun memberanikan diri mengikuti konseling gratis tersebut. Setelah berkonsultasi hampir selama 1 jam, ia pun merasa saran yang diberikan psikolog itu lebih aplikatif. Penilaian atas persoalan yang dihadapi konseli pun dilakukan secara obyektif, tanpa menghakimi dan berpihak.
Di sisi lain, mencari layanan psikologi memang tidak mudah. Akses terhadap psikolog masih sangat terbatas. Mereka umumnya hanya bisa ditemui di biro-biro psikologi tertentu, baik yang dikelola swasta maupun perguruan tinggi di kota-kota besar. Sementara daerah yang menyediakan psikolog di puskesmas masih bisa dihitung jari.
Belum lagi soal biaya yang dianggap relatif mahal hanya untuk sekadar berbincang-bincang. Padahal, dengan biaya yang sama, masyarakat mampu membeli makanan di restoran atau kafe tanpa merasa kemahalan.
”Hadirnya psikolog di tengah publik ini menghilangkan kesenjangan antara psikolog dan masyarakat, tanpa terhalang persoalan biaya,” kata Aji (21), warga Dago, Bandung, yang turut merasakan manfaat konseling cuma-cuma tersebut.
Sebagai orang yang memiliki kemampuan dan keterampilan, Aji menilai psikolog mampu mengeksplorasi persoalan yang dialami konseli, termasuk dirinya. Ketenangan, senyum, dan perhatian mereka membuat konseli tak merasa malu membuka hal-hal yang dianggap privasi, termasuk perihal yang dianggap aib atau sepele.
Para psikolog atau konselor itu juga tidak langsung memberikan solusi atas masalah yang dihadapi konseli. Mereka biasanya akan memberi sejumlah pilihan solusi untuk menyelesaikan persoalannya beserta risiko atas setiap pilihan yang dipilih. ”Cara memberikan solusi itulah yang berbeda dengan solusi yang ditawarkan tokoh agama terhadap satu persoalan,” katanya.
Pilihan untuk berkonsultasi kepada psikolog itu juga diambil Mei (19), gadis asal Kopo, Bandung, daripada bercerita kepada orangtuanya. Selain tak ingin menambah beban pikiran orangtua, sebagian orangtua juga suka mengambil putusan secara sepihak atas masalah yang dihadapi anaknya tanpa meminta pertimbangan dari sang anak.
Profesionalitas itulah yang membuat psikolog lebih dipercaya menjadi tempat curahan hati saat menghadapi masalah dan mencari jalan keluarnya dibandingkan pihak lain. Psikolog juga bukan sekadar bahu sandaran tempat menumpahkan segala persoalan karena mereka bekerja dengan didasari kode etik.
Walaupun antara konselor dan konseli berbeda agama, etnis, umur, dan cara berpakaian, kepercayaan konseli terhadap konselor itu tetap terjaga. Situasi itu juga menunjukkan, kepercayaan di antara anak bangsa yang berbeda-beda masih ada.
Urban
Meski kepercayaan terhadap psikolog mulai tumbuh, khususnya dari generasi muda, masih sulit bagi masyarakat luas bisa mengakses layanan psikologi. Padahal, persoalan psikologi bisa dialami siapa pun dan di mana pun, tanpa memandang jenis kelamin, status ekonomi, tingkat pendidikan, ataupun pekerjaannya.
Riset Kesehatan Dasar 2013 memang menunjukkan masyarakat urban lebih rentan mengalami gangguan mental emosional dibandingkan mereka yang di perdesaan. Makin bertambah usia, makin rendah tingkat pendidikan, semakin rendah tingkat ekonomi, dan makin tinggi ketidakpastian pekerjaan masyarakat membuat mereka memiliki risiko mengalami gangguan jiwa yang lebih besar pula.
Dalam konseling percuma bersama 100 psikolog yang digelar Himpsi Jabar itu, sebagian besar konseli berumur muda. Psikolog Yayasan Praktik Psikologi Indonesia, Tania Savana Sari, yang juga terlibat dalam program konseling itu menilai anak muda urban sudah lebih menerima psikologi. Mengakses psikolog juga bukan lagi dianggap tabu. Selain konseling secara langsung, mereka juga banyak mengakses layanan konseling gratis melalui aplikasi atau internet.
”Persoalan yang dialami anak muda umumnya berkaitan dengan penyesuaian sosial, mulai dari masalah pertemanan, kuliah, sekolah, hingga pacar,” katanya.
Sementara itu, persoalan yang dihadapi kelompok umur yang lebih dewasa umumnya lebih bervariasi, mulai dari hubungan anak-orangtua, ekonomi, perkawinan, kehidupan rumah tangga, hingga kondisi kesehatan yang menurun seiring bertambahnya usia.
Meski sudah muncul persepsi lebih baik tentang psikologi dari anak muda, masih kuatnya stigma orang yang mengakses layanan psikologi adalah orang yang sakit jiwa dinilai psikolog Doddy Sholahuddin menunjukkan belum dikenalnya psikologi secara luas.
Psikolog tidak hanya diperlukan untuk mengatasi hal-hal yang bersifat klinis, tetapi juga untuk semua persoalan yang dihadapi manusia yang bisa memengaruhi kesejahteraannya.
”Persoalan karier, jenis pekerjaan dan tempat bekerja yang cocok, pilihan jurusan dan tempat sekolah atau kuliah, semua membutuhkan psikologi,” kata Doddy yang juga menjadi dosen di Fakultas Psikologi, Universitas Nasional Pasim, Bandung. Psikologi juga bisa dimanfaatkan untuk menunjang produktivitas karyawan, mengelola karyawan, dan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan.
Persoalan karier, jenis pekerjaan dan tempat bekerja yang cocok, pilihan jurusan dan tempat sekolah atau kuliah, semua membutuhkan psikologi.
Selain itu, masih muncul anggapan bahwa orang yang suka curhat atau berani menyampaikan keluh kesahnya sebagai orang lemah. Padahal, siapa pun akan menghadapi tekanan yang memunculkan kecemasan atau depresi sepanjang hidupnya.
”Psikologi sebagai ilmu perilaku membantu manusia mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya untuk mencapai kesejahteraan yang sesungguhnya,” kata Ketua Himpsi Jabar Aria Arayana Parasian Siregar.
Meski demikian, Tania mengingatkan, psikolog tidak memberikan solusi atas setiap persoalan yang dihadapi klien mereka. Hal yang dilakukan psikolog adalah memberikan alternatif solusi beserta konsekuensi dan risiko atas setiap solusi yang dipilih sendiri oleh konseli.
”Sebagian orang sebenarnya sudah tahu jawaban atas masalah yang dihadapi, tetapi mereka belum yakin atau kurang teliti dengan keputusan yang diambil,” ujarnya. Pendampingan psikolog diperlukan, khususnya pada remaja atau orang dewasa muda yang memang kemampuannya untuk membuat keputusan secara matang belum terbentuk.
Hal senada diungkapkan Aria. Ia meyakini masyarakat sesungguhnya mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Namun, terkadang, tumpukan berbagai persoalan membuat hal sederhana menjadi rumit. Akibatnya, mereka sulit mengambil keputusan secara jernih.
Di sisi lain, kata Doddy, setiap orang menyikapi masalah secara berbeda. Saat menghadapi tekanan, sebagian orang bisa menyikapinya lebih santai. Namun, ada pula orang yang merasa paling menderita di dunia saat menghadapi masalah.
”Dengan menurunkan tekanan dan mengubah persepsi konseli bahwa banyak orang juga mengalami masalah, pengambilan keputusan lebih enak dilakukan,” katanya.