Drama Kaum Superkaya
Seperti apa dunia orang superkaya di Asia, atau lebih spesifik Singapura? Film ”Crazy Rich Asians” berupaya memberikan gambaran itu dalam balutan drama komedi romantis. Tak hanya menampilkan glamornya kehidupan jetset, film ini juga menyuguhkan problematika orang-orang di dalamnya yang barangkali tak terlihat di permukaan.
Crazy Rich Asians besutan sutradara John M Chu diadaptasi dari novel karya Kevin Kwan berjudul sama yang diterbitkan pada 2013. Novel dengan penjualan terlaris ini kemudian diolah menjadi skrip oleh Peter Chiarelli dan Adele Lim.
Saat penayangan di Amerika Serikat, film ini disebut-sebut istimewa karena sebagian besar pemerannya merupakan aktor dan aktris berdarah Asia, baik Asia-Amerika, Asia-Inggris, maupun Asia-Australia. Penonton AS rupanya telah lama tidak melihat film dengan pemeran mayoritas Asia sejak The Joy Luck Club tahun 1993 sehingga bagi mereka Crazy Rich Asians mungkin menjawab kerinduan atas keragaman film-film produksi Hollywood. Barangkali bisa disamakan pula dengan film Black Panther yang pemerannya mayoritas berkulit hitam dan juga mendapat sambutan luar biasa.
Film Crazy Rich Asians sebenarnya mengangkat kisah sederhana dan mudah ditebak seperti apa akhirnya. ”Bumbu-bumbu” yang dituangkan ke dalam ramuan cerita itulah yang membuat film ini punya lebih banyak nuansa untuk dinikmati.
Adegan dibuka dengan setting London tahun 1995 ketika Nyonya Eleanor Young (Michelle Yeoh) bersama dua anaknya masuk ke sebuah hotel mewah dalam keadaan berantakan karena guyuran hujan. Dia seketika ditolak resepsionis dan manajer hotel, padahal sudah memesan kamar termewah.
Dari sebuah telepon umum di luar hotel dia berbicara pada suaminya, lalu masuk kembali. Kali ini, sang pemilik hotel datang menyambut Eleanor sebagai pemilik baru hotel tersebut.
Penggalan pembukaan itu langsung memberikan bayangan kepada penonton apa yang bisa dilakukan oleh orang yang kaya raya. Mirip dengan Bruce Wayne dalam Batman Begins (2005) yang langsung membeli sebuah hotel ketika teman-teman perempuannya menceburkan diri ke dalam kolam dan dia ditegur petugas hotel.
Deskriptif
Cerita beralih pada tokoh utamanya, Rachel Chu (Constance Wu), profesor ekonomi, dan kekasihnya, Nick Young (Henry Golding), yang tinggal di New York. Nick mengajak Rachel ke Singapura untuk menghadiri pernikahan teman baiknya, Colin Khoo (Chris Pang), dengan Araminta Lee (Sonoya Mizuno).
Selama setahun berpacaran, Rachel tidak pernah tahu latar belakang keluarga Nick. Dia selalu mengalihkan pembicaraan jika ditanya tentang keluarga. Dalam bayangan Rachel, Nick berasal dari keluarga kebanyakan karena Nick bahkan meminjam kata sandi Netflix Rachel. Rachel baru tahu ketika mereka mendapat penerbangan kelas satu bahwa Nick berasal dari keluarga kaya raya.
Rachel menemui sahabatnya semasa kuliah, Goh Peik Lin (Awkwafina), yang ternyata juga berasal dari keluarga berada meskipun tidak sekaya keluarga Young. Dari cerita keluarga Peik Lin, Rachel semakin tercengang atas fakta siapa Nick sebenarnya.
Dan, tentu saja, Rachel bagaikan si Upik Abu ketika berhadapan dengan keluarga besar Nick. Berita telah menyebar bahwa Rachel ”bukan siapa-siapa” menurut ukuran mereka. Eleanor langsung memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Rachel dan berusaha untuk memisahkan keduanya.
Rachel pun berusaha menemukan apakah dia memiliki tempat dalam keluarga superkaya itu.
Tidak sulit mengikuti cerita yang disuguhkan selama 121 menit tersebut. Setiap tokohnya diceritakan secara deskriptif ataupun lewat adegan untuk menunjukkan karakter dan problematikanya. Seperti sepupu dekat Nick, Astrid Leong (Gemma Chan), sosialita yang bersuamikan Michael Teo (Pierre Png), orang di luar lingkaran kaum jetset. Juga Oliver T’sien (Nico Santos), sepupu jauh yang mengurus segala keinginan keluarga Young.
Ada juga sepupu-sepupu yang menyebalkan, seperti Eddie Cheng (Ronny Chieng) dan adiknya, Alistair Cheng (Remy Hii). Bibi-bibi yang senang bergosip dan teman-teman Nick yang menyebut Rachel gadis materialistis pemburu harta turut meramaikan suasana.
Di luar itu adalah gambaran tentang apa yang bisa dilakukan orang-orang kaya itu. Rumah keluarga Young yang sangat mewah dan memiliki petugas keamanan bersenjata di gerbangnya bisa membuat Rachel tersesat saking besarnya.
Pesta bujang Colin digelar di sebuah kapal kontainer yang disulap menjadi kapal pesiar di perairan internasional. Mereka berangkat naik helikopter. Pesta lajang Araminta digelar di sebuah resor mewah. Dia memberikan belanja dan layanan spa gratis bagi gadis-gadis yang diundang.
Mobil-mobil mewah berseliweran sebagai kendaraan mereka. Busana dari butik-butik ternama dunia, perhiasan mahal, dibeli seperti membeli kacang goreng.
Lanskap Singapura dengan gedung-gedung pencakar langit, juga ikon-ikon negara itu, mendominasi film. Kita bisa melihat patung Merlion berkali-kali, juga penanda kota ikonik, Marina Bay Sands.
Di luar kemewahan itu, gambaran kebiasaan dan budaya yang jamak dianut orang Asia juga muncul. Misalnya membawa bekal saat bepergian, seperti Rachel membawa masakan di dalam kotak plastik untuk bekal perjalanan di pesawat. Sampai soal bagaimana peran keluarga dalam menentukan masa depan anaknya, terutama soal jodoh: apa pekerjaannya, siapa ayah dan ibunya. Orang-orang yang tidak sesuai kriteria keluarga otomatis tidak mendapatkan restu.
Identitas
Film ini juga menyoroti soal identitas yang ”dibebankan” kepada orang keturunan Asia-Amerika. Meskipun lahir dan besar di Amerika, mereka sering dianggap liyan karena secara fisik dan budaya berbeda. Sebaliknya, mereka juga dianggap orang luar oleh orang Asia karena hidup dalam budaya Barat.
Dalam hal ini, Constance Wu merepresentasikannya dengan baik. Dia mampu mengeksplorasi kerentanan Rachel berada di dua dunia itu. Namun, perhatian penonton memang tersedot oleh tingkah polah Awkwafina, penyanyi rap dan aktris, yang menyegarkan suasana dengan komedinya, juga Nico Santos yang kemayu.
Sebagian komedi yang ditawarkan berhasil, sebagian tidak. Drama keluarga, terlebih hubungan ibu dan anak, cukup menyentuh.
Crazy Rich Asians memang memikat penonton Amerika, tetapi dinilai kurang pas oleh penonton Singapura. Menyimak laporan sejumlah media, banyak penonton mempersoalkan kurangnya keasiaan dalam film tersebut, padahal judulnya menyebut Asia.
Film ini juga dinilai mengabaikan keberadaan etnis lain, yakni Melayu dan India, yang sebenarnya turut membentuk wajah Asia, terutama di Singapura.
Meskipun ada kekurangan di sana-sini, film ini bisa jadi hiburan. Setidaknya Anda bisa mendengar lagu ”Yellow” milik Coldplay dinyanyikan dalam bahasa Mandarin.