Jakarta di masa depan tidak dapat dihindari akan semakin padat seiring penduduk dan pendatang yang terus bertambah. Untuk itu perlu antisipasi agar Jakarta bisa menjadi kota yang nyaman.
LabTanya Universitas Indonesia, Kamis (13/9/2018), dalam lokakarya bertajuk ”Mengantisipasi Masa Depan: Kepadatan Jakarta” mempresentasikan ide mereka untuk memanfaatkan ruang-ruang kosong yang ada di Jakarta dengan menjadikannya hunian mengingat kebutuhan yang tinggi akan hunian di Jakarta. Ide yang ditawarkan adalah menyulap gedung parkir yang ada di Jakarta menjadi hunian vertikal lengkap dengan beberapa fungsi lain.
Salah satu periset LabTanya, Ade Amelia, menjelaskan, ke depan, sebagaimanaa kondisi kota besar lain di dunia, penggunaan kendaraan pribadi akan semakin berkurang seiring dengan perkembangan ketersediaan transportasi massal dan kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Dengan demikian, diperkirakan penggunaan gedung parkir akan semakin berkurang dari kapasitas semula.
”Di sisi lain, ketersediaan rumah tinggal masih jauh lebih rendah daripada kebutuhan. Gedung parkir ini bisa diubah menjadi hunian dengan biaya yang tidak sebesar seperti membangun gedung baru. Penghuninya pun tidak perlu jauh-jauh ke pinggiran Jakarta untuk tinggal,” ungkap Ade.
Namun, menyediakan hunian baru berarti menambah kepadatan Jakarta. Alim Halimatussaidah, pengajar di Ekonomi Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, mengungkapkan, berdasarkan penelitian Badan Pembangunan Nasional, penduduk di Jakarta saat ini sudah melebihi kapasitas. Oleh karena itu, penambahan properti, seperti apartemen atau rumah susun, di Jakarta juga akan menambah persoalan. Sebab, semakin banyak orang tinggal di Jakarta, semakin banyak konsumsi air, listrik, serta produksi sampah.
”Setiap orang pasti memiliki pertimbangan dan hitungan sendiri dalam memilih tempat tinggal. Mungkin memang ada yang memilih tinggal di apartemen di pusat kota Jakarta dengan pertimbangan ongkos transportasi rendah untuk menuju tempat kerja. Namun, sebagian yang lain lebih memilih ke pinggiran dengan pertimbangan lingkungan, sekolah, dan keberadaan pasar tradisional. Maka, menjadi komuter merupakan hal yang sangat memungkinkan,” kata Alim.
Jangan sampai, ujar Alim, beban Jakarta yang sudah sangat berat pada siang hari juga makin bertambah pada malam hari karena semakin banyak yang memilih tinggal di Jakarta.
Hal senada diungkapkan Uswatun Hasanah, pengajar Ekonomi Lingkungan dan Hukum FEUI. Menurut dia, hal yang paling mendesak di Jakarta adalah terlebih dahulu menjawab persoalan keruwetan di Jakarta, seperti kemacetan, dan penggunaan kendaraan bermotor yang sangat tinggi. Kebutuhan mobilitas warga yang tinggi belum dapat dijawab oleh ketersediaan transportasi massal yang memadai.
”Apakah benar penggunaan kendaraan pribadi ke depan akan berkurang? Atau setidaknya tetap? Sementara masih banyak daerah yang tidak terjangkau transportasi massal sehingga yang paling mudah adalah menggunakan kendaraan pribadi,” kata Uswatun.
Penggagas Rame Rame Jakarta, Andesha Hermintomo, mengungkapkan, Jakarta memiliki karakteristik yang berbeda dengan kota-kota besar lain di dunia. Di Jakarta, sektor formal dan sektor informal hidup berdampingan.
”Di balik kawasan perkantoran dan komersial Jakarta, terdapat kampung-kampung yang sebenarnya menopang kehidupan di Jakarta,” ujar Andesha.
Salah satu contohnya adalah Kampung Karet, yang diapit tiga kawasan perkantoran Sudirman, Kuningan, dan Kasablanka. Di kampung itu tinggal para pelaku sektor informal, pedagang makanan, pedagang minuman keliling, ojek, dan kos-kosan.
”Tanpa keberadaan mereka, pekerja di Jakarta tidak akan bisa bertahan. Kondisi ini bisa dibandingkan dengan kota besar lain, seperti Singapura dan Tokyo yang tidak memiliki ruang untuk ekonomi informal. Biaya hidup di sana menjadi sangat mahal,” kata Andesha.
Kampung di Jakarta merupakan kampung yang sangat padat. Rumah-rumah berimpitan, berlantai tiga hingga empat. Kebutuhan ruang ini juga harus dijawab dengan penataan yang tepat.