Pemerintah Amerika Serikat hari Senin (10/9/2018) mengumumkan penutupan kantor Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO di Washington DC. Keputusan tersebut menandakan berakhirnya hubungan AS-PLO yang terjalin selama 30 tahun, yakni sejak akhir 1988.
Seperti dimaklumi, AS mulai mengakui PLO pada Desember 1988 ketika AS mulai menggelar dialog dengan PLO di Tunisia antara Duta Besar AS untuk Tunisia saat itu, Robert H Pelletreau, dan pimpinan PLO.
Dialog AS-PLO di Tunisia itu menjadi pendahuluan ke arah tercapainya Kesepakatan Oslo tahun 1993. Dalam dialog AS-PLO tersebut, PLO secara prinsip menyetujui tiga syarat yang diminta AS untuk membuka hubungan resmi dengan Washington DC.
Tiga syarat itu meliputi, pertama, PLO mengakui Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB Nomor 242 tentang konflik Arab-Israel. Kedua, PLO menghentikan serangan terhadap sasaran Israel. Ketiga, PLO mengakui negara Israel.
Sebelum dibuka dialog AS-PLO tersebut, Pemerintah AS menetapkan PLO sebagai organisasi teroris. Setelah tercapainya Kesepakatan Oslo tahun 1993, Pemerintah AS mencabut keputusan yang menetapkan PLO sebagai organisasi teroris dan bahkan kemudian mengizinkan PLO membuka kantor perwakilan di Washington DC.
Hubungan AS-PLO terjalin cukup baik selama 30 tahun terakhir ini hingga mengalami keretakan sejak Donald Trump berkuasa di Gedung Putih pada Januari 2017. Keretakan itu ditandai dengan keputusan pemerintahan Trump menutup kantor perwakilan PLO di Washington DC pada Senin lalu.
Fase terburuk
Penutupan kantor PLO itu memberi pesan tentang hubungan terburuk AS-Palestina saat ini sejak terjalinnya hubungan mereka yang dimulai dari Tunisia pada Desember 1988. PLO dianggap sudah menjadi perwakilan Palestina oleh komunitas internasional. Organisasi itu juga dipimpin Mahmoud Abbas yang juga Presiden Palestina.
Keputusan tersebut adalah menjadi rangkaian keputusan besar AS secara beruntun sejak Desember 2017 hingga September 2018 yang sangat merugikan Palestina secara politik. Rangkaian keputusan itu dimulai dari keputusan Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017 dan kemudian memindah kantor Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem pada 14 Mei lalu.
Pada 21 Agustus lalu, pemerintahan Trump juga memutuskan penghentian suplai dana secara penuh kepada Badan Bantuan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA) yang mengurus pengungsi Palestina.
Keputusan AS menutup kantor PLO di Washington DC sangat terkait secara politik dengan keputusan AS menghentikan secara penuh suplai dana kepada UNRWA.
Seperti diketahui, PLO adalah organisasi yang mewakili seluruh rakyat Palestina, baik di dalam wilayah Palestina maupun pengasingan. Adapun UNRWA adalah badan PBB yang bertindak memberi bantuan kemanusiaan kepada seluruh pengungsi Palestina di dalam wilayah Palestina maupun di pengasingan yang diperkirakan berjumlah 5,9 juta jiwa.
Tindakan AS menutup kantor PLO di Washington DC merupakan pesan politik bahwa AS tidak mengakui lagi hak politik rakyat Palestina di pengasingan dengan menarik pengakuan terhadap PLO yang menjadi payung politik rakyat Palestina di pengasingan tersebut.
Tindakan AS itu seiring dengan tindakan AS tidak mengakui lagi keberadaan UNRWA dengan menghentikan suplai dana secara penuh ke badan PBB urusan pengungsi Palestina tersebut. Artinya, paket keputusan AS terhadap PLO dan UNRWA itu merupakan pesan politik bahwa AS tidak mengakui keberadaan diaspora Palestina di pengasingan. PLO dan UNRWA adalah badan resmi yang mengurusi diaspora atau pengungsi Palestina di pengasingan.
Agenda AS-Israel
Dampak dari tindakan AS yang tidak mengakui lagi PLO dan UNRWA itu adalah pada gilirannya AS akan tidak mengakui lagi Resolusi PBB Nomor 194 tentang hak kembali pengungsi Palestina. Rangkaian keputusan AS terkait Palestina tersebut tentu mencerminkan substansi rencana perdamaian Palestina-Israel besutan pemerintahan Trump yang kerap disebut-sebut dengan nama ”Transaksi Abad Ini”.
Dalam apa yang disebut dengan Transaksi Abad Ini nanti, sudah tidak ada lagi hak kembali bagi pengungsi Palestina.
Hal itu sejalan dengan apa yang dilansir Menteri Transportasi dan Urusan Intelijen Israel Yisrael Katz melalui akun Twitter-nya, Selasa (11/9).
Katz menyebutkan bahwa Pemerintah AS kini sedang dalam proses menyusun keputusan yang akan meminta pengungsi Palestina di Lebanon, Suriah, Irak, dan Jordania agar menetap secara permanen di negara-negara tersebut.
AS akan meminta Palestina dan dunia Arab tidak menuntut lagi hak kembali bagi pengungsi Palestina sesuai dengan Resolusi PBB Nomor 194.
Sebaliknya, AS ke depan hanya akan mengakui Otoritas Palestina (PA) yang, menurut Washington, hanya mengemban misi mengurus rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, bukan di pengasingan.
Bagi AS, isu rakyat Palestina di pengasingan akan terkubur bersamaan dengan terkuburnya PLO dan UNRWA. Kini, perlu dilihat seperti apa perlawanan Palestina, dunia Arab, dan masyarakat internasional terhadap langkah AS tersebut. Respons mereka akan menentukan berhasil atau gagalnya misi AS.