Bagi orang Batak, menginjakkan kaki di Sianjur Mula-mula berarti meresapi gelora asal-usul manusia Batak. Bagi saya, tempat ini menjadi titik penting cara memahami saudara. Sianjur Mula-mula tak hanya menjanjikan keramahan warganya, tetapi juga keelokan alamnya.
Sore itu, Minggu (5/8/2018), kami baru saja menepi di Tuktuk, salah satu pelabuhan tersibuk di Pulau Samosir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Kami lalu meluncur ke Sianjur Mula-mula melintasi jalan di tepi Danau Toba. Di tengah jalan, sempat bertemu rintik hujan, lalu cerah, langit kembali biru. Sekitar satu jam kemudian, saat memasuki Kecamatan Pangururan, langit yang semula biru berubah kekuningan. Di sebelah kiri jalan, ketika melintasi tanah lapang, kami disapa pelangi.
Barangkali ini pelangi paling sempurna yang pernah saya lihat. Biasanya hanya berupa potongan melengkung dan berlangsung tak lama. Kali ini berbeda. Pelangi itu menyemburatkan warna sempurna dan bentuknya setengah lingkaran. Benar, setengah lingkaran. Satu titiknya seperti muncul dari rerimbunan pohon lalu titik lainnya sembunyi di antara rumah warga. Kami turun dari kendaraan untuk menikmati keindahannya tanpa terhalang kaca jendela mobil. Hingga kaki memutuskan meninggalkan lokasi itu, pelangi tadi masih utuh meskipun tak secerah sebelumnya.
Setelah Pangururan, kami melintasi jembatan yang menghubungkan Pulau Samosir dengan Pulau Sumatera. Lebih tepatnya, jembatan itu menghubungkan Pulau Samosir yang ada di tengah Danau Toba dengan salah satu tepi Danau Toba. Kami lalu menyusuri jalan menanjak. Di sebelah kiri jalan terdapat dataran tandus memutih, sementara di sekelilingnya tetap menghijau. ”Itu sumber air panas dari Gunung Pusuk Buhit,” ujar E Simandjorang, yang mengantar kami, sebelum kami tanya.
Di lokasi ini, banyak sekali vila dan hotel yang menyediakan jasa pemandian air panas alami (hot spring). Dapat menginap sekaligus mandi air hangat atau menginap di tempat lain lalu mandi air hangat di sini. Oleh karena sudah sore, kami memilih melanjutkan perjalanan dan memutuskan mandi air hangat di hari lain.
Kami menuju Desa Hutaginjang, Kecamatan Sianjur Mula-mula Di lereng Gunung Pusuk Buhit, Kabupaten Samosir, yang berada di ketinggian 1.350 meter di atas permukaan laut. Selain Sianjur Mula-mula, terdapat dua kecamatan lagi, yakni Harian Boho dan Pangururan, yang terletak di lereng Pusuk Buhit. Inilah gunung yang disebut-sebut sebagai tempat asal-muasal orang Batak. Konon, Si Raja Batak datang dari tempat ini kemudian keturunannya menyebar ke seluruh tanah Batak. Sisingamangaraja XII merupakan keturunannya yang ke-19, begitu menurut salah satu literatur.
Langit cantik
Menjelang Desa Hutaginjang, kami menyusuri pantai Danau Toba ketika langit sedang cantik-cantiknya. Warna langit bergradasi dari kuning, oranye, merah, hingga ungu. Tak jauh dari tempat memarkir mobil, sekelompok anak bergantian berpose dan memotret menggunakan kamera telepon genggam. Senja yang memanjakan mata membuat kami betah berlama-lama.
”Sudah lama kali langitnya tidak sebagus ini, Bang,” kata salah satu dari mereka ketika ditanya mengapa mereka bergairah sekali saling potret.
Mereka lantas menawari kami untuk dipotret dengan latar belakang langit penuh warna dan Danau Toba yang bening dan tenang. Gelak tawa dan keramahan mereka sungguh menggugurkan kesan banyak orang terhadap suku Batak yang dianggap galak dan sangar.
Keramahan itu juga yang menyelimuti kami tatkala memasuki rumah E Simandjorang. Malam itu, kami dijamu dengan beragam minuman dan makanan. Teh hangat dan kopi panas tersaji di meja. Saya memilih kopi untuk mengusir dingin. Malam itu bukan saja dingin, tetapi anginnya juga kencang, memaksa saya memakai jaket dan penutup kepala.
Menjelang makan, saya mengedarkan pandangan ke meja. Tidak ada ikan mas. Ini sebenarnya agak ganjil lantaran ikan mas merupakan suguhan penting, bahkan dalam beberapa level termasuk sakral. Bagi orang Batak, derajat ikan mas lebih tinggi dibandingkan daging lembu atau ayam. Sebab, ikan adalah sumber kehidupan. Ikan menjadi salah satu identitas kultural Batak.
”Sudah dua minggu ini kami tidak makan ikan. Masih tak tega memakannya,” kata Istri Simandjorang, Nurhaida Simarmata.
Dia menjelaskan, sejak Kapal Motor Sinar Bangun tenggelam bersama seratusan penumpangnya, banyak warga tidak doyan ikan yang diambil dari danau Toba, termasuk ikan nila, dan mas yang banyak dibudidayakan dengan jaring keramba apung di Danau Toba. ”Kami tidak tahu, kan, apa yang dimakan ikan. Siapa tahu jenazah saudara kita yang tenggelam itu sudah dimakan ikan,” katanya.
Sekalipun belum tentu juga ikan-ikan tersebut bersinggungan dengan jasad para korban, mengingat korban tenggelam di kedalaman yang diperkirakan lebih dari 500 meter dengan suhu amat dingin. Meski demikian, sugesti tentang ikan tadi dapat dimaklumi. Ini sebagai bagian dari empati dan simpati terhadap para korban, sekaligus ciri bahwa mereka tidak mau makan daging saudara sendiri.
Pagi hari muncul kejutan. Dari jendela tempat menginap, kami leluasa memandang cakrawala. Di sepan sana, muncul dua kepundan seperti puncak gunung. ”Itu Gunung Sinabung. Kalau sedang erupsi, kelihatan jelas dari sini. Ini membuat kami betah di desa,” tutur Simandjorang sebelum kami tanya lebih jauh.
Meskipun pagi tak secerah harapan kami, pemandangan tadi sungguh memberi kesan. Saya yang pernah sangat dekat dengan Gunung Sinabung, bahkan mendakinya, kini melihatnya dalam radius sekitar 140 kilometer. Dalam jarak itu, Sinabung tetap terlihat anggun.
Desa Hutaginjang masih sangat asri. Pohon rindang hampir di setiap tepi jalan. Pohon berusia puluhan sampai ratusan tahun. Warga tidak menebangnya karena menghilangkan pohon sama saja menutup mata air.
Pagi itu, orang-orang mulai pergi ke sawah menggiring kerbau, sementara anak-anak pergi sekolah. Beberapa bapak duduk memeluk lutut sembari sesekali menyeruput kopi di depan rumah. Mereka berharap kopi dapat mengusir dingin dan mendatangkan gairah kerja. ”Kalau sudah ngopi, kerja lebih semangat,” kata P Sagala, salah satu dari mereka.
Mengunjungi Sianjur Mula-mula bermakna mengakrabi tanah lahir saudara. Dari sini, saya mengerti mengapa mereka betah. Kuncinya pada keramahtamahan dan keindahan alam.