Tak Rela Terbelah
Kemegahan pesta pembukaan dan penutupan Asian Games 2018 menjadi kenangan indah banyak orang. Bagi Nurul Susantono (26), Asian Games bukan sekadar momen bersejarah, tetapi juga pembuktian bahwa seni dan olahraga dapat mempersatukan masyarakat yang terbelah.
Siang itu, Senin (3/9/2018), Nuya, begitu Nurul biasa disapa, meluangkan waktu untuk berbincang di salah satu resto di Hotel Fairmont, Jakarta, yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kantor Panitia Asian Games 2018 (Inasgoc).
Lelah masih membayang di wajah salah satu stage manager atau manajer panggung pertunjukan pada pembukaan dan penutupan Asian Games 2018 ini. Namun, dia sangat antusias membagi pengalaman menarik selama mengemban tugas pada perhelatan itu.
Dalam perhelatan itu terdapat lima senior stage manager, lima stage manager, dan lima assistant stage manager. Mereka berbagi tugas mengatur setiap penampil di panggung. Pada pembukaan Asian Games, merekalah yang memastikan 4.000-an penampil, termasuk penari dan atlet, naik panggung sesuai waktu dan durasi. Nuya menilai, keberhasilan itu buah sistem yang terbangun baik, disiplin, dan kerja tim.
Ketika mendapat tawaran untuk menjadi manajer panggung, Nuya terpanggil memenuhi tantangan itu. Ia menilainya sebagai batu pijakan baru dalam mengukur kemampuan diri, karena tugas itu butuh banyak waktu, pikiran, dan konsistensi. Setelah lulus seleksi, dia bekerja di bawah Production Stage Manager Valerio Perino asal Italia yang telah malang-melintang dalam urusan panggung di sejumlah negara. Nuya berhasrat menimba ilmu dari Perino.
Apresiasi warga terhadap Asian Games 2018 memperkuat idealisme dan filosofi hidup Nuya. ”Seni dan olahraga itu salah satu yang mampu menyatukan orang. Bukan karena aku seniman, tetapi aku menilai karya seni dapat membuat orang bersatu untuk tujuan lebih besar. Jika dilakukan dengan benar dan pada saat yang benar, efeknya dahsyat banget,” begitu kesan Nuya terhadap Asian Games 2018.
Musikal
Kepercayaan diri Nuya untuk menjadi manajer panggung, antara lain, karena ia sudah mengantongi pengalaman sebagai sutradara dalam beberapa pertunjukan musikal. Dia adalah pendiri Jakarta Movement of Inspiration atau Jakarta Move In (JKTMOVEIN), sebuah organisasi di bidang seni yang rajin menggelar drama musikal.
Terakhir mereka memproduksi drama musikal Petualangan Sherina yang diadopsi dari film laris karya Mira Lesmana dan Riri Riza. Drama musikal ini dipertunjukkan sebanyak 6 kali pada September akhir tahun lalu dan 6 kali pada awal tahun ini, dengan total penonton sekitar 14.200 orang.
Nuya dan rekan-rekannya menjadikan Jakarta Move In sebagai wadah anak muda untuk berkreasi, melakukan beragam uji coba, dan memperkaya pengalaman untuk dapat berkembang. Maka, dalam setiap produksi drama musikalnya, Jakarta Move In melakukan audisi terbuka. Dalam Petualangan Sherina, seluruh kru, pemeran, dan musisi disaring dari 2.618 pendaftar. Hanya sekitar 150 orang yang akhirnya lolos seleksi.
Mereka bertekad untuk mengangkat cerita Indonesia ke dalam panggung untuk memperkaya arsip Indonesia. Ini sebentuk idealisme beraroma nasionalisme versi Jakarta Move In. Bisa dibilang ini adalah gerakan anak milenial membendung arus industri hiburan yang cenderung murahan, asal punya rating tinggi.
Jakarta Move In berani membangun platform tiket daring sendiri. ”Kami menggaet anak muda, anak kuliahan, yang belum lulus tetapi mau trial and error, mencoba coding dan membuat aplikasi sendiri,” kata Nuya menggambarkan semangat sekaligus idealisme generasi milenial yang selalu haus mencoba hal baru.
Eksperimen ini memang akrab dengan kehidupan Nuya. Dia lahir dan besar dalam lingkungan keluarga yang penuh cinta dan kepercayaan. Orangtua Nuya memberikan kebebasan dia mengatur jadwal, termasuk mengerjakan PR dan bermain.
Kedua orangtua Nuya adalah pekerja yang praktis lebih sering meninggalkan rumah. Pada saat itu, pencinta sushi ini mengeksplorasi diri, mencari hal-hal yang tersembunyi dalam diri, termasuk menulis naskah dan membuat film pendek tadi. ”Mereka memberi trust yang besar dan itu sangat membantu,” kata dia.
Semangat eksperimen itulah yang dia terapkan di Jakarta Move In. Namanya eksperimen, kadang salah. Seperti saat penjualan tiket Petualangan Sherina, peladen mereka sempat ambruk lantaran terlalu banyak pembeli menyerbu. Saat itu Nuya berada di London mempersiapkan diri mengikuti wisuda pascasarjana. Rekannya, yang juga Chief Operating Officer Jakarta Move In, berada di Bandung, sementara para programmer sedang teler karena belum sempat tidur. Mereka kebanjiran hujatan wargnet.
Pada kondisi seperti itu, insting kepemimpinan Nuya teruji. ”Oke jangan terpengaruh orang marah, fokus ke penyelesaian masalah saja. Server matikan dulu sambil diperbaiki,” begitu Nuya menguatkan diri dan rekan-rekannya.
Mereka berhasil melalui aral itu dan Petualangan Sherina meraup sukses. ”Sherina is my biggest so far. Timku juga sangat solid dan berbakat,” ujar Nuya.
Gegar Budaya
Kecintaan Nuya terhadap seni bermula ketika guru bahasa Indonesia di SMP memberikan tugas membuat film pendek. Gurunya menyukai film horor garapan Nuya. Ia lalu dikirim mengikuti High Scope Film Festival dengan juri Nia Dinata dan Joko Anwar. Filmnya memenangi empat dari tujuh kategori, yakni Sutradara Terbaik, Naskah Terbaik, Pemain Pembantu Terbaik, dan Film Terbaik. Itu menjadi titik penting bagi Nuya yang kemudian meyakini dirinya punya masa depan bagus sebagai sutradara. ”Ya, gaya-gayanya anak SMP-lah, menang sekali langsung pede he-he-he.”
Dia lalu dikenal sebagai ”Nuya Sang Sutradara”, termasuk ketika duduk di SMA Labschool Kebayoran. Setiap ada lomba film, dia mewakili sekolah. Hingga suatu saat, sekolah berencana membuat drama musikal dan butuh sutradara. Lagi-lagi Nuya ditunjuk sebagai sutradara. Dia menerima tugas karena berfikir, bisalah jadi sutradara.
Ternyata gambaran Nurul salah. ”Di film ada plan, ada script. Kalau salah tinggal retake 10 kali, 12 kali, asal kru-nya sabar, kan, bisa. Tapi kalau musikal harus disiplin, presisi, keterampilan, proses geladi. Ini kerja keras banget yang begitu detail untuk satu momen. Tantangan banget,” papar Nurul yang gemar joging.
Drama musikal tadi akhirnya kelar dan mendapat apresiasi positif dari penonton. Nuya merasakan euforia baru yang tidak dia dapat di film. Latihan-berbulan-bulan sepadan dengan kebahagiaan seusai gelaran.
”Ini momen paling indah dan selalu ingin aku ulang dalam perjalanan karier aku.”
Nuya menemukan jati dirinya. Sayangnya, ketika kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, dia dianggap bukan siapa-siapa. Tak satu pun teman kampusnya paham drama musikal. Nuya mengalami gegar budaya dan krisis identitas. Dia menjadi mahasiswi ”kupu-kupu”, kuliah-pulang-kuliah-pulang. Dia merindukan pengakuan dirinya yang dulu.
Maka Nuya pun rajin berkunjung ke SMA-nya dulu. Alih-alih membantu adik-adik kelasnya mengembangkan Skylite Musicals, kelompok drama musikal yang ikut dia rintis, Nuya sebenarnya hendak mengobati kerinduannya ”menjadi seseorang”.
Masalah lain datang. Dia malu terlalu sering datang ke sekolah seolah tak ada pekerjaan lain sebagai mahasiswa. Menjelang lulus, dia mengumpulkan teman SMA-nya lalu membentuk Jakarta Move In. Di sini, Nuya menjadi diri sendiri dan meniti mimpi sebagai sosok yang mandiri. Kemandirian dan kepercayaan diri itu juga tecermin saat Asian Games 2018 bergulir. Dia meyakini seni dan olahraga dapat mempersatukan masyarakat yang terbelah.
Nurul Susantono
Lahir: Jakarta, 21 Februari 1992
Pendidikan:
- 1. Universitas Indonesia–Ilmu Komunikasi (S.Sos) Agustus 2010-Januari 2014
- 2. Imperial College London–Innovation, Entrepreneurship and Management (MSc) September 2015-Agustus 2016
Pengalaman sebagai sutradara dan manajer panggung, antara lain:
- Manajer Panggung pada Pembukaan dan Penutupan Asian Games, Jakarta-Palembang 2018
- Sutradara teater musikal ”Sanskerta: Rahwana” di Universitas Prasetiya Mulya, Februari-Mei 2018
- Sutradara dan Produser Musikal Petualangan Sherina, Januari 2017-Februari 2018.