BBWSCC Ajukan Kasasi Sengketa Penggusuran Bukit Duri
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane (BBWSCC) telah mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memenangkan gugatan class action warga Bukit Duri. Warga Bukit Duri menang atas sengketa penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta pada September 2016.
Kepala BBWSCC Bambang Hidayah mengaku keberatan karena harus dilibatkan untuk membayar ganti rugi Rp 18,6 miliar.
”Alasannya adalah supaya BBWSCC tidak disertakan dalam ganti rugi. Karena itu pelaksanaannya (penggusuran), kan, sudah,” kata Bambang kepada wartawan, Rabu (12/9/2018).
Ia menambahkan, upaya hukum kasasi juga dilakukan untuk mengamankan aset dan keuangan negara. BBWSCC tetap akan berupaya hukum maksimal. Namun, jika nanti putusan kasasi memutuskan ganti rugi, hal itu akan dikembalikan kepada pimpinan, yaitu Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Upaya hukum kasasi pun dilakukan setelah konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Selain itu, BBWSCC juga khawatir apabila warga Bukit Duri yang menggugat perwakilan kelompok (class action) diberikan ganti rugi, warga lain yang direlokasi juga akan menuntut hal serupa. Bambang khawatir akan muncul kelompok warga lain yang juga akan menuntut ganti rugi.
Gugatan class action itu diajukan sebagian warga Bukit Duri pada 10 Mei 2016 setelah Pemprov DKI menggusur 179 warga di RW 010, RW 011, dan RW 012 Bukit Duri, Jakarta Selatan. Relokasi dilakukan untuk penataan bantaran dan pembangunan jalan inspeksi Kali Ciliwung.
Namun, majelis hakim Pengadilan Tinggi memutuskan tindakan penggusuran itu melanggar hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta peraturan pengadaan tanah. Majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa lahan itu sudah dikuasasi warga puluhan tahun disertai surat penguasaan dan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Terkait dengan kasasi BBWSCC ini, kuasa hukum warga Bukit Duri, Vera Soemarwi, belum bisa dimintai keterangan. Baik telepon dan pesan singkat yang dikirimkan Kompas belum mendapatkan respons.
Kampung susun
Selain menuntut ganti rugi uang, warga Bukit Duri juga meminta penataan dengan konsep kampung susun. Kampung susun dibangun untuk menggantikan rumah warga yang digusur. Pemprov DKI sudah menawarkan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), tetapi ditolak oleh warga. Untuk merealisasikan kampung susun itu, dibutuhkan lahan seluas 5.000 meter persegi.
Kepala Suku Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah Jakarta Selatan Yaya Mulyarso mengatakan, sudah ada lahan di sekitar lokasi yang digusur dibidik untuk menjadi kampung susun. Namun, Pemprov DKI harus memastikan bahwa dokumen kepemilikan tanah tersebut clean and clear. Tanpa dokumen yang jelas, Pemprov tidak bisa asal membebaskan lahan.
”Program penataan kampung di Jakarta Selatan, khususnya Bukit Duri, masih terus diproses. Sekarang ini, kendalanya soal ketersediaan lahan,” ucap Yaya.
Selain Bukit Duri, Jakarta Selatan juga menata dua kampung lain, yaitu Tegal Parang dan Kramat Pela. Kampung itu ditata dengan program Community Action Plan (CAP) yang menitikberatkan pada kolaborasi warga. Sasaran dari program ini adalah mengubah kampung dari aspek sosial budaya, ekonomi, fisik, dan lingkungan.