JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah terus mendorong investasi hulu di sektor petrokimia sebagai bagian upaya mempromosikan substitusi impor. Kemandirian bahan baku di sektor hulu petrokimia, seperti etilen, propilen, dan lainnya, baru kira-kira 20 persen.
"Sekitar 80 persennya masih impor dengan nilai bisa mencapai 10 miliar dollar AS per tahun," kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono di Jakarta, Senin (17/9/2018).
Terkait hal tersebut, dia menuturkan, investasi pun didorong untuk mengisi kebutuhan bahan baku yang selama ini masih banyak diimpor. "Sudah ada yang komitmen. Chandra Asri sudah mau bikin 1 juta ton. Lotte juga mau bikin 1 juta ton," katanya.
Kemenperin mengharapkan investasi-investasi tersebut dapat mengurangi hingga 50 persen impor bahan baku di petrokimia pada tahun 2023 mendatang.
Achmad Sigit mengatakan, ada keterkaitan erat antara kebutuhan bahan baku di sektor petrokimia dengan investasi di hulu migas. Apalagi 70 persen kebutuhan nafta di petrokimia selama ini juga masih harus diimpor.
"Kalau ada pengilangan yang bisa menyediakan kira-kira 3 juta ton, maka itu bisa menyuplai kebutuhan di dalam negeri," ujar Achmad Sigit.
Secara terpisah, Deputi Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal Azhar Lubis menuturkan, kalau produksi minyak banyak maka ada harapan impor berkurang. "Dan, kemudian, pengilangan dalam negeri seharusnya juga bertambah," kata Azhar.
Dukungan fiskal
Akhir pekan lalu Asosiasi Pengusaha Indonesia dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia menggelar Seminar Nasional bertajuk Peran Serta Dunia Usaha dalam Membangun Sistem Perpajakan dan Moneter yang Adil, Transparan, dan Akuntabel.
Salah satu pertanyaan yang muncul di sesi dua seminar dari peserta adalah menyangkut dukungan yang bisa diberikan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) atau Kementerian Keuangan terhadap industri hulu migas supaya investasi bisa naik. Setidaknya agar industri hulu migas yang sudah di dalam negeri bisa bertahan dan berkontribusi terhadap perekonomian.
Kepala BKF Suahazil Nazara mengatakan, usaha hulu migas memerlukan investasi sangat tinggi dan sangat sensitif terhadap harga minyak dunia.
Ketika harga minyak dunia sedang naik, biasanya keinginan untuk investasi lebih tinggi. Demikian sebaliknya, ketika harga minyak dunia rendah, keinginan investasi biasanya juga menurun.
"Ini yang kami lihat. Ketika harga minyak turun dari sekitar tahun 2011 sampai 2016 yang lalu memang minat untuk investasi hulu itu menurun. Memang usaha hulu migas tidak akan pernah menemukan minyak apabila tidak berinvestasi. Dia harus benar-benar mengebor. Itu butuh modal dan risikonya relatif tinggi," kata Suahazil.
Terkait hal tersebut, dia menuturkan, pemerintah memikirkan mekanisme-mekanisme baru. "Mungkin salah satu yang paling fundamental adalah perubahan sistem menjadi gross split yang mulai diterima teman-teman di usaha hulu migas.
Ini pun masih harus kita telaah lagi insentif apa yang bisa diberikan. Kami pun membuka diri untuk diskusi mendalam supaya lebih baik ke depan," ujarnya.