Jumlah Serikat Pekerja Cenderung Turun
Data jumlah serikat pekerja tingkat perusahaan dan anggotanya turun selama kurun 2013-2016. Selain akurasi data, ada kemungkinan penurunan disebabkan oleh apatisme pekerja serta perpecahan dan politisasi serikat.
JAKARTA, KOMPAS - Jumlah serikat pekerja atau serikat buruh beserta anggotanya di tingkat perusahaan cenderung turun beberapa tahun terakhir. Tren penurunan ini diduga karena pergerakan serikat dinilai tidak mampu menjawab perubahan ekonomi dan sosial di masyarakat.
Data Kementerian Ketenagakerjaan, pada tahun 2013, jumlah konfederasi serikat pekerja (SP) tercatat enam unit, federasi SP 92 unit, SP tingkat perusahaan 11.852 unit, dan jumlah anggota SP 3,4 juta orang tenaga kerja.
Tahun 2016, ada 11 konfederasi SP dan 111 unit federasi SP. Sementara jumlah SP tingkat perusahaan turun jadi 7.294 unit dan jumlah anggota SP berkurang jadi 2,7 juta orang. Tahun ini, sampai Agustus 2018, jumlah konfederasi SP bertambah jadi 14 unit dan federasi SP 120 unit. Sementara total SP tingkat perusahaan tetap 7.294 unit dan anggota 2,7 juta orang.
Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Hubungan Industrial Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Aswansyah di Jakarta, Minggu (16/9/2018) mengatakan, penurunan jumlah serikat pekerja di tingkat perusahaan dan anggotanya didasarkan pada hasil verifikasi. "Saat kami verifikasi di lapangan, ternyata ada data tidak sesuai, terutama menyangkut kebenaran jumlah anggota SP perusahaan," ujar dia.
Menurut Aswansyah, belakangan marak pengusaha merelokasi pabrik ke kabupaten/kota dengan pertimbangan upah minimum. Situasi ini berdampak langsung ke bubarnya SP. "Kasus perusahaan tutup dan pemutusan hubungan kerja secara massal berdampak ke perkembangan SP/SB tingkat perusahaan," ujarnya.
"Saat kami verifikasi, ada data tidak sesuai, terutama menyangkut jumlah anggota serikat pekerja," ujar dia.
Kepala Program Federasi Serikat Pekerja Garteks, Elly Rosita Silaban mengungkapkan, ada kecenderungan SP ditunggangi kepentingan partai politik tertentu. Akibatnya, gerakan serikat tak lagi mencerminkan kebutuhan buruh.
Selain itu, ada beberapa pimpinan serikat independen yang tidak terpilih mendirikan organisasi baru, tetapi melaporkan jumlah anggota fiktif ke Kementerian Ketenagakerjaan. Belum lagi, kasus perpecahan di internal serikat. Kasus-kasus seperti ini sukar diverifikasi datanya.
Formalitas
Di tingkat perusahaan, ada banyak SP yang didirikan perusahaan semata memenuhi ketentuan kebebasan berserikat amanat undang-undang.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia, Timboel Siregar mengemukakan, beberapa SP terpecah dan berselisih di tingkat perusahaan, lalu di tingkat federasi maupun konfederasi. "Hal ini kontraproduktif bagi pekerja untuk masuk menjadi anggota SP," kata dia.
Menurut Timboel, semakin terbukanya informasi dan ada lembaga-lembaga yang mengawasi proses demokratisasi, maka pengusaha berusaha menjaga citra baik. Caranya adalah menciptakan kondisi-kondisi "nyaman" bagi pekerja. Dengan begitu, pekerja relatif cepat puas.
Kementerian Ketenagakerjaan mendorong pembentukan serikat baru pekerja. Misalnya, pekerja yang berkecimpung di industri musik. Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri mengatakan, teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dan berdampak ke sejumlah sektor industri kreatif, seperti subsektor musik. Keberadaan serikat diharapkan menjadi wadah bagi musisi untuk berkreasi dan meningkatkan perlindungan hak-hak normatif mereka.
Dosen Fakultas Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, M Hadi Subhan menyebutkan, dua penyebab menurunnya jumlah anggota serikat pekerja/buruh. Pertama, pekerja atau buruh diduga semakin apatis terhadap fungsi serikat terhadap kepentingan tenaga kerja. Artinya, ada sejumlah kebutuhan tenaga kerja yang tidak terfasilitasi oleh serikat.
Penyebab kedua, kata Hadi Subhan, ada oknum-oknum serikat yang mengarahkan organisasi untuk kepentingan lain. Sebagai contoh, ada salah satu serikat pekerja mengajukan banding ulang (judicial review) mengenai regulasi pengampunan pajak. Padahal, hal itu tidak berkaitan langsung dengan hajat pekerja. Contoh lain, ada beberapa aktivis serikat pekerja masuk di dalam panggung politik pemilihan umum calon anggota legislatif.
Lebih jauh, Hadi memandang, rata-rata aktivitas serikat belum mengarah ke menjawab dampak revolusi industri keempat. Teknologi digital telah mendisrupsi ekonomi dan penggunaan tenaga manusia.
"Bisnis perusahaan meredup akibat disrupsi. Maka, pemutusan hubungan kerja merupakan suatu keniscayaan. Dalam situasi ini, serikat pekerja/buruh harus memastikan bahwa hak-hak tenaga kerja terdampak dipenuhi perusahaan," tutur dia.