JAKARTA, KOMPAS-- Komisi Pemilihan Umum perlu segera melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang memperbolehkan mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Jika putusan ini tidak segera dilaksanakan, maka KPU akan dinilai melanggar konstitusi. Oleh sebab itu, KPU perlu segera menyelesaikan revisi Peraturan KPU sebelum penetapan daftar calon tetap.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan kementerian lembaga terkait perlu duduk bersama agar Revisi PKPU perlu segera diselesaikan.
"Karena putusan MA sudah dikeluarkan, maka KPU perlu segera merevisi ini sebelum penetapan daftar calon tetap tanggal 20 September," katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (17/09/2018).
Titi mengimbau agar putusan MA ini jangan sampai menimbulkan polemik baru karena tidak dijalankan oleh KPU. Jika KPU tidak menjalankan putusan ini, maka KPU melanggar konstitusi karena putusan MA ini bersifat mengikat.
Secara terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah menjelaskan, jika KPU tidak menjalankan putusan MA ini, tentunya akan ada sanksi sosial dari masyarakat. Menurut Abdullah, KPU juga akan bermasalah dengan parpol jika nantinya putusan MA ini tidak dilaksanakan.
Abdullah mengatakan, MA telah mengabulkan dua putusan yaitu PKPU 20/2018 dan PKPU 14/2018 yang mengatur tentang mantan narapidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak untuk menjadi caleg.
"Ada 12 permohonan uji materi ke MA, namun hanya dua permohonan yang dikabulkan. Satu permohonan dikabulkan sepenuhnya dan satu lagi dikabulkan sebagian," ujarnya saat konferensi pers di Kantor MA, Jakarta, Senin (17/09/2018).
Abdullah menjelaskan, salah satu permohonan yang dikabulkan yaiti Nomor 46 P/HUM/2018 SPD-IF-YMW/KSM atas nama Jumanto yang mengajukan permohonan uji materi pasal 4(3), pasal 11(1) dalam PKPU 20 tahun 2018 dengan batu uji UU 7/2017 tentang pemilu, UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, serta UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.
"Peraturan ini sudah mengikat sejak putusan tanggal 13 September 2018 dan berlaku bagi semua mantan narapidana korupsi. Putusan ini berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk memilih dan dipilih sesuai dengan UU 7/2017," ujarnya.
Oleh sebab itu, Abdullah menjelaskan salinan putusan ini akan dikirimkan ke KPU malam ini sehingga KPU bisa segera memeriksa salinan tersebut. Abdullah menjelaskan, KPU perlu segera mempersiapkan hal yang harus dilakukan pasca-putusan MA, menjelang penetapan daftar calon tetap yang hanya tersisa tiga hari hingga 20 September 2018.
Sebelumnya, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz, Minggu (16/9/2018) di Jakarta, menilai, putusan ini menunjukkan kegagalan MA untuk berkontribusi pada pemilu yang berintegritas.
”Dengan dibatalkannya PKPU (pelarangan bekas napi) oleh MA, partai politik akan mencalonkan kembali bekas napi kasus korupsi. Ini jelas berdampak bagi masyarakat pemilih,” kata Donal.
Selain kerugian bagi pemilih, Donal juga menilai, institusi MA juga akan terdampak oleh keputusan tersebut. Sebab, jajaran hakim agung MA di masa depan dapat dianggap sebagai pilihan-pilihan anggota DPR yang mencakup bekas napi kasus korupsi.
Menanggapi hal tersebut, Abdullah menjelaskan, dalam putusannya MA tidak menggunakan pertimbangan sosial dan opini yang berkembang di masyarakat terkait penolakan mantan narapidana korupsi ini.
"Perlu diingat, permohonan ini merupakan uji materi peraturan, yaitu PKPU. Oleh sebab itu, kami menggunakan pertimbangan berdasarkan hukum dan UU lain yang ada dalam mengeluarkan putusan. Kasusnya berbeda dengan permohonan perkara," katanya.
Secara terpisah, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, KPU tidak akan memundurkan jadwal penetapan DCT yang sudah ada. Menurutnya, DCT sudah ditetapkan pada 20 September 2018 sesuai dengan peraturan tahapan.
Sebelumnya, Arief meragukan, proses revisi PKPU ini bisa selesai tepat waktu karena waktunya mepet dengan penetapan DCT. Menurut Arief, revisi PKPU ini memerlukan sejumlah proses yang memakan waktu.
"Seperti proses uji publik, kemudian harus ada konsultasi dengan DPR dan lembaga kementerian. Setelah itu, PKPU ini juga perlu diajukan ke Kemenkumham. Kemudian, hasil revisi juga perlu disosialisasikan lagi kepada KPU daerah dan parpol," ujar Arief.