Harapan Besar pada Sepotong Ruas LRT
Kamis (13/9/2018) sore, Rohmani (42) berdesak-desakan dengan sekelompok anak usia sekolah dasar di depan gate penumpang LRT Jakarta di Stasiun Rawamangun, Jakarta Timur. Warga Kayu Putih itu rupanya penasaran dengan kereta ringan perkotaan yang tengah menjalani uji coba operasi itu.
”Ini kedua kalinya saya ikut naik kereta baru ini. Mulus jalannya, tidak ada guncangan, juga tidak ada suara-suara dari luar. Saya suka,” ujar Rohmani yang kali itu mengawal putrinya dan teman-teman sekelas anaknya menjajal kereta ringan itu.
Pengalaman naik kereta tanpa ada guncangan berarti coba ia bandingkan saat ia pergi ke Bekasi dengan kereta komuter. ”Beda sekali. Kalau ke Bekasi naik kereta komuter, memang tidak kena macet juga, tapi rasa guncangan masih ada,” katanya.
Rohmani bertutur, sebagai warga Kayu Putih yang tentu saja tempat tinggalnya dekat dengan proyek pembangunan ruas fase 1 kereta ringan (LRT) Jakarta, ia penasaran seperti apa kereta itu.
”Katanya kereta bisa melaju cepat nanti kalau sudah operasi yang sebenarnya. Lalu saya bisa pergi Kelapa Gading dengan cepat tanpa terhalang macet,” ujarnya sambil tersenyum lebar.
Sebagai warga setempat, Rohmani, yang menyebut dirinya ”anak kampung sini” (akamsi), bangga dengan wajah baru di kampungnya. Betapa tidak, kehadiran angkutan umum perkotaan yang modern seperti angkutan berbasis rel saat ini menjadi satu ciri kota dunia.
Namun, rasa bangga Rohmani dihadapkan pada pertanyaan besar Nurul (25), warga Rawamangun. ”Keretanya cuma sampai ujung velodrom. Kalau saya mau ke Tanah Abang, bagaimana?” katanya.
Di situlah pertanyaan yang dicoba untuk dijawab LRT Jakarta, moda angkutan baru yang siap beroperasi penuh pada 2019 dan baru saja mengakhiri masa uji coba operasi.
”Kami tengah merencanakan adanya integrasi antarmoda angkutan. Di ujung stasiun velodrom ada Koridor 4 transjakarta. LRT Jakarta akan terhubung dengan halte transjakarta di Halte Pemuda,” tutur Allan Tandiono, Direktur Utama PT LRT Jakarta.
Bentuk integrasi yang dimaksud, lanjut Allan, masih dalam perencanaan, apakah akan berbentuk jembatan penyeberangan atau penyeberangan jalan di permukaan jalan semacam pelican crossing.
Allan memaparkan, integrasi itu bisa berjalan karena ada potensi. Dalam perhitungan LRT, ada potensi penumpang dari Kelapa Gading menuju area tengah kota sebanyak 11.000-an orang saat jam sibuk, pukul 06.00-09.30. Potensi terangkut itu dilihat dari headway atau jarak antarkereta.
Dengan jarak antarkereta 10 menit, dalam satu jam akan ada enam kali layanan. Dalam satu kali layanan, sebanyak 500-an penumpang bisa terangkut. Artinya, per jam sebanyak 3.000-an orang bisa terlayani. Apabila dikalikan 3,5 jam layanan saat jam sibuk, 11.000-an orang bisa terangkut.
Potensi itulah yang dipikirkan untuk bisa diteruskan angkutannya oleh moda selanjutnya, yaitu transjakarta. Apalagi saat ini perjalanan dengan transjakarta di Koridor 4 punya cerita manis dengan waktu tempuh 35 menit. Dengan begitu, penumpang dari Kelapa Gading bisa melanjutkan perjalanan ke tengah kota atau wilayah Sudirman dalam waktu cepat.
Yoga Adiwinarto, Direktur Institut Transportasi dan Kebijakan Pembangunan (Institute for Transportation and Development Policy/ITDP) Indonesia, menyatakan, sebagai moda transportasi umum pendatang baru, memang LRT semestinya bisa membawa integrasi dengan moda transportasi yang sudah ada.
”Untuk LRT Jakarta, ini lebih bagus karena meski baru sepotong, sudah memikirkan untuk bisa terintegrasi dengan transjakarta,” ucap Yoga.
Angkutan umum dinilai berhasil apabila bisa membuat mudah penggunanya karena adanya keterpaduan antarmoda. Dalam sistem angkutan umum di Jakarta sekarang dikenal program OK OTrip yang mengintegrasikan seluruh moda angkutan dalam sistem pembayaran yang juga terintegrasi.
Apabila LRT sudah menghitung potensi, lanjut Yoga, angkutan permukiman sebagai angkutan pengumpan yang membawa penumpang dari area permukiman ke stasiun juga harus difasilitasi. Dengan demikian, meski LRT Jakarta dari Kelapa Gading menuju Rawamangun baru sepanjang 5,8 km, kalau ada fasilitas itu, warga akan mau meninggalkan kendaraan pribadi di rumah. Ditambah dengan jaminan kecepatan dan kelancaran perjalanan menuju tujuan, hal itu akan kian memberikan kemudahan dan kecepatan bermobilitas warga.
Dalam kaitan dengan OK OTtrip, ujar Yoga, Pemprov DKI sudah harus mulai menghitung tarif. Jika selama ini tarif baru berkutat antara integrasi tarif bus kecil, bus sedang, dan bus besar (transjakarta), sebaiknya Pemprov DKI mulai memasukkan komponen tarif LRT. Struktur tarif berbagai moda pun sebaiknya satu paket.
Yoga melanjutkan, dengan sistem pembayaran OK OTrip, untuk LRT Jakarta dengan transjakarta, yang masih dipikirkan cara integrasinya, tidak akan terlalu menjadi masalah. Apabila tidak bisa dibangun skywalk yang menghubungkan stasiun dengan halte, penumpang bisa menggunakan zebra cross untuk masuk ke halte transjakarta. Hanya saja, saat harus tap out lalu tap in, penumpang tidak perlu bayar lagi dalam durasi waktu tertentu.
Dalam hal pembayaran, kata Yoga, tentu saja perlu kemudahan cara pembayaran sehingga LRT dan transjakarta tidak terpaku pada sistem pembayaran konvensional dengan kartu bank, tetapi bisa melibatkan aplikasi pembayaran.
Selanjutnya, meski LRT Jakarta baru sepotong, ada baiknya belajar tentang pengelolaan dari negara tetangga. Malaysia, ujar Yoga, dengan LRT dan MRT yang sudah bertambah jumlah line-nya ternyata hanya sedikit penumpangnya.
Apa pasal? Ternyata Pemerintah Malaysia masih menyediakan kantong parkir dengan tarif cukup terjangkau, bahkan di tengah kota. Akibatnya, masyarakat lebih suka membawa kendaraan pribadi daripada naik angkutan umum.
”Untuk kita, jangan sampai itu terjadi. Pemprov DKI mesti memberikan penalti kepada warga yang tetap memilih menggunakan kendaraan pribadi. Di antaranya dengan membuat mahal tarif parkir, menerapkan jalan berbayar (ERP), hingga mempersulit izin pendirian gedung parkir baru, apalagi yang dekat dengan stasiun atau titik angkutan umum,” tutur Yoga.
Ia juga mengingatkan LRT Jakarta. Saat nanti mulai beroperasi, juga akan ada LRT lain yang dioperasikan pemerintah pusat. ”Lagi-lagi, ingatlah untuk memberikan kemudahan bagi pengguna,” ucapnya.
Apabila satu penumpang LRT Bodebek ingin menuju Tanah Abang dan harus keluar di stasiun LRT Bodebek untuk tap in lagi di stasiun LRT Jakarta, penumpang tidak dimudahkan. Di situ integrasi antarkelembagaan menjadi penting karena akan menyangkut cara pembayaran.
Allan melanjutkan, dengan proses uji coba yang sudah selesai, sekarang menjadi masa-masa bagi LRT Jakarta menuntaskan persiapan sarana dan prasarana menuju pengoperasian pada 2019.
”Menuju operasional resmi 2019, kami perlu melakukan evaluasi menyeluruh dari uji coba operasional yang berhenti Jumat (14/9/2018) untuk memperbaiki kekurangan demi peningkatan layanan. Lalu juga menyelesaikan pembangunan stasiun dan depo yang pada Agustus mencapai 88 persen,” kata Allan.
Ia berharap, dengan evaluasi dan persiapan matang, LRT Jakarta bisa menghadirkan pelayanan terbaik bagi warga Ibu Kota.