Likuiditas perbankan nasional mengetat. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat, rasio kredit terhadap simpanan (LDR) perbankan pada Juli 2018 sebesar 93,5 persen, tertinggi sejak Januari 2013. LDR itu sudah di atas batas atas yang ditentukan Bank Indonesia (BI), yakni 92 persen.
Kredit tumbuh pada Juli 2018 tumbuh sangat tinggi sebesar 11,34 persen. Namun dana pihak ketiga (DPK) hanya tumbuh 6,89 persen. Dengan mengetatnya likuiditas perbankan itu, pembiayaan ekonomi akan semakin terbatas.
Kendati rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan membaik, yakni 2,73 persen pada Juli 2018 dibandingkan periode sama 2017 yang sebesar 3 persen, bank akan lebih berhati-hati menyalurkan kredit. Perbankan akan cenderung lebih selektif terutama di sektor-sektor berisiko tinggi, seperti infrastruktur, komoditas ekspor, dan usaha mikro.
Sementara itu, kesenjangan penyaluran kredit untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masih lebar. Ada sekitar Rp 1.649 triliun kebutuhan pembiayaan di Indonesia. Dari jumlah itu, kapasitas pembiayaan industri jasa keuangan hanya sekitar Rp 660 triliun, sehingga masih ada gap Rp 988 triliun per tahun.
Berdasarkan penghitungan Bank Indonesia (BI), agar ekonomi Indonesia dapat tumbuh 6 persen, kredit harus tumbuh 16 persen. Namun jika hanya mengandalkan penyaluran kredit secara konvensional, kontribusi optimalnya hanya sebesar 13,5 persen.
Ini menjadi peluang bagi industri jasa teknologi finansial (tekfin) untuk mengisi gap tersebut. Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko menyatakan, kekurangannya dapat ditutup dengan penyaluran kredit secara digital yang dikelola pelaku jasa pinjam-meminjam antarpihak (peer to peer/P2P lending). Kontribusinya dalam penyaluran kredit diperkirakan sebesar 2,5 persen pada 2023.
Dalam pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia pada 8-14 Oktober 2018, di Bali, BI akan menginisiasi sektor ekonomi digital. Salah satunya adalah mendorong peningkatan pembiayaan UMKM melalui tekfin. Integrasi ekonomi digital akan dilakukan, meliputi pembiayaan, produktivitas, pemasaran melalui e-dagang, sistem pembayaran, dan logistik.
Dari sisi pembiayaan, pelaku usaha mikro yang jumlahnya sebesar 98,74 persen dari total 59,6 juta UMKM, masih kurang tersentuh pembiayaan konvensional. Adapun dari sisi pemasaran, akses pasar mereka masih minim. Dalam perdagangan secara elektronik (e-dagang), produk-produk impor masih mendominasi.
Selama ini, industri jasa tekfin memang sudah merambah sektor tersebut. Mereka bahkan berani memberikan pinjaman tanpa ada agunan. Sasarannya mulai dari perorangan, usaha rumah tangga, hingga badan usaha. Jejaringnya menyebar hampir di penjuru Nusantara, termasuk di Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Mereka bahkan bekerja sama dengan perbankan untuk menyalurkan kredit.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, total penyaluran pinjaman melalui P2P lending hingga Juli 2018 sebesar Rp 9,21 triliun. Angka itu meningkat 259,36 persen sejak awal. Sementara rasio kredit bermasalah atau NPL P2P lending sebesar 1,4 persen.
Hingga awal September 2018, jumlah perusahaan tekfin P2P lending yang terdaftar atau berizin OJK sebanyak 67 perusahaan. Adapun yang dalam proses pendaftaran sebanyak 40 perusahaan dan yang berminat mendaftar 38 perusahaan.
Kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Asosiasi Fintech lndonesia (Aftech) yang diluncurkan pada Agustus 2018 menyebutkan, perkembangan tekfin mampu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 25,97 triliun dan konsumsi rumah tangga meningkat Rp 8,94 triliun.
Kontribusi tekfin itu dihitung berdasarkan dari dampak pinjaman ke 21 sektor bisnis, antara lain perdagangan, jasa keuangan, industri pengolahan, pertanian, peternakan, dan perkebunan. Penghitungan itu dilakukan sejak 2014-Juni 2018.
Dari 21 sektor bisnis itu, tekfin telah memberikan nilai tambah terhadap perbankan Rp 1,57 triliun atau 0,82 persen. Adapun untuk UMKM, antara lain terlihat dari sektor perdagangan (selain motor dan mobil) dan pertanian, kehutanan, dan perikanan. Kontribusinya terhadap sektor bisnis perdagangan sebesar 7,2 triliun (0,65 persen) dan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan baru Rp 277 miliar (0,023 persen). Kontribusi terbesarnya ada di sektor jasa lembaga keuangan lain yang sebesar Rp 7,4 triliun (10,21 persen).
Apabila memang diarahkan untuk memperkuat UMKM, peran tekfin itu masih perlu ditingkatkan. Beberapa perusahaan tekfin sudah berkolaborasi dengan perbankan. Kendati begitu, perlu dilihat seberapa besar suku bunga yang ditawarkan kepada nasabah. Apakah suku bunganya terlalu besar atau tidak, karena perusahaan tekfin itu masih harus berbagi fee dengan perbankan.
Di sisi lain, perlu dicermati juga, jangan-jangan masih terlalu berorientasi pada kredit perorangan atau konsumer. Kredit perorangan itu bisa berupa pembelian barang-barang elektronik, sepeda motor, atau untuk kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak menyangkut penguatan modal usaha.