JAKARTA, KOMPAS – Penanganan kanker mesti dilakukan oleh dokter ahli dari berbagai disiplin. Pertimbangan dari berbagai bidang dokter ahli ini akan membuat diagnosis dan penentuan stadium lebih tepat sebelum menangani pasien. Namun, belum semua rumah sakit bisa menerapkan hal ini, terutama rumah sakit di daerah.
Ketua Perhimpunan Hematologi dan Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (Perhompedin) cabang Jakarta Ronald A Hukom mengatakan hal itu dalam acara peringatan Hari Peduli Limfoma Sedunia di Jakarta, Minggu (15/9/2018). Acara yang diadakan Ferron Par Pharmaceuticals dan Cancer Information and Support Center (CISC) Indonesia ini dihadiri sekitar 100 orang penyintas kanker.
Menurut Ronald, dokter yang dilibatkan dalam penanganan kanker, antara lain dokter umum, ahli penyakit dalam, ahli kesehatan anak, ahli bedah, ahli radiologi, ahli patologi, dan tim paliatif. “Kanker sebaiknya ditangani secara multidisiplin, baik dalam melakukan diagnosis maupun terapi. Namun, bobot peran tiap keahlian bisa berbeda,” kata Ronald.
Adanya berbagai sudut pandang pemikiran dari para ahli tersebut akan mengoptimalkan penangan terhadap pasien. Dokter bisa mengetahui kapan pasien perlu dioperasi, diradiasi, dan dikemoterapi.
Meski demikian, masih sedikit rumah sakit yang mempunyai tim kerja ini dalam menangani pasien kanker. Rumah sakit yang sudah punya, kata Ronald, antara lain Rumah Sakit Kanker Dharmais, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (Jakarta), Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin (Bandung), dan Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito (Yogyakarta).
Masih sedikit rumah sakit yang mempunyai tim kerja ini dalam menangani pasien kanker.
Adapun rumah sakit di daerah, umumnya, belum menerapkan. Padahal, keterlibatan ahli multidisiplin bisa mengurangi kesalahan diagnosis yang bisa memperparah kondisi pasien.
“Hal seperti itu (pasien salah diagnosis) sering terlihat pada pasien yang kemudian dirujuk ke rumah sakit tempat saya bertugas,” ujar Ronald yang juga Tenaga Medis Fungsional Rumah Sakit Kanker Dharmais ini.
Ronald menambahkan, Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah mempunyai Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Namun, surat keputusan (SK) tentang tim multidisiplin penanganan kanker ini belum ada di seluruh rumah sakit propinsi. Ronald pun mendorong kebijakan ini bisa dijalankan.
Standar baku
Secara terpisah, Ketua Yayasan Kanker Indonesia Aru Wisaksono Sudoyo mengatakan, pendekatan penanganan kanker secara multidisipliner (multidisciplinary care/MDC) sudah menjadi standar pelayanan dan panduan tata laksana kanker kolorektal (CRC) di Inggris dan Irlandia sejak 2007. Pada 2009, MDC telah diimplementasikan hampir di semua negara Eropa dan menjadi standar baku untuk tata laksana kanker.
Melalui pendekatan ini, komunikasi, koordinasi, dan pengambilan keputusan antar tenaga medis profesional bisa lebih baik. Pendekatan MDC pun menjadi kunci dalam tata laksana kanker yang berkualitas. Pengambilan keputusan terapi terbaik bagi pasien akan meningkatkan kualitas pelayanan dan keselamatan pasien.
Namun, menurut Aru, pembentukan tim dokter ahli multidisiplin itu tidak mudah. Di Inggris, mengajak bahkan memaksa para dokter untuk kerja dalam tim butuh beberapa tahun.
Pembentukan tim dokter ahli multidisiplin itu tidak mudah. Di Inggris, mengajak bahkan memaksa para dokter untuk kerja dalam tim butuh beberapa tahun.
“Di Indonesia, belum ada peraturan yang mengharuskan dan masih diserahkan pada tiap-tiap rumah sakit. Baru beberapa rumah sakit yang mengadopsinya. Perlu ada peraturan pemerintah. Kerja sama harus diinstruksikan dari atas ke bawah (top down),” kata Aru saat dihubungi dari Jakarta.
Intan Khasanah (22), penyintas kanker kelenjer getah bening (limfoma) asal Pekanbaru, mengatakan, dirinya sempat mengalami salah diagnosis oleh dokter. Pada 2012, setelah mengalami demam tinggi, muncul tiga benjolan sebesar kelereng di bagian lehernya.
Setelah diperiksa ke rumah sakit dengan uji laboratorium, dokter mendiagnosis Intan mengalami tuberkulosis (TBC). Sebulan mengonsumsi obat TBC, dokter kurang yakin dan kembali melakukan pemeriksaan, tetapi diagnosisnya sama.
Selama mengonsumsi obat TBC, benjolan di leher Intan sempat hilang timbul. Namun, delapan bulan kemudian benjolan di lehernya semakin besar dengan ukuran tidak normal.
“Ketika dirujuk ke rumah sakit di Jakarta dan dicek ulang semuanya dari awal, baru ketahuan aku nggak TBC, tetapi kanker limfoma hodgkin. Cuma, karena telat, stadium empat, kankernya sudah menyebar ke mana-mana. Ada di paru, hati, macam-macam,” ungkapnya.
Menurut Intan, jika diketahui dari awal, kankernya mungkin masih stadium satu dan bisa sembuh dengan enam kali kemoterapi. Namun, karena terlambat, dia masih harus dikemoterapi sampai sekarang. Total Intan sudah dikemoterapi sebanyak 22 kali dan diradiasi 70 kali.
“Gejala TBC kadang memang mirip dengan kanker getah bening. Jadi jangan percaya pada satu rumah sakit saja,” ujarnya setelah acara peringatan Hari Peduli Limfoma Sedunia. Saat ini, Intan memasuki tahap terakhir masa pengobatannya.
Gejala TBC kadang memang mirip dengan kanker getah bening. Jadi jangan percaya pada satu rumah sakit saja.
Kanker masih menjadi ancaman serius di dunia, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2017, diperkirakan hampir 9 juta orang di dunia meninggal akibat kanker. Angka itu diperkirakan terus meningkat hingga 22,2 juta orang pada 2030. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat, prevalensi kanker 1,4 per 100 penduduk atau sekitar 347.000 orang (Kompas, 9 Juli 2018). (YOLA SASTRA)