Peran Konsultan CAP Dipertanyakan
JAKARTA, KOMPAS - Peran sebagian konsultan dalam konsep Community Action Plan untuk pembangunan sebagian kampung di Jakarta dipertanyakan. Hal tersebut menyusul sejumlah praktik yang relatif belum ideal jika ditilik dari tanggung jawab yang mestinya dijalankan.
Sebagian di antaranya adalah relatif belum terjadinya kolaborasi bersama warga. Selain itu, terdapat juga kecenderungan tumpang tindihnya peran yang dijalankan sebagian konsultan terkait program Community Action Plan (CAP) dengan penangangan sebagian lokasi RW kumuh di Jakarta.
Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Jakarta Eni Rochyati, Sabtu (15/9/2018) mengatakan bahwa komunikasi dengan konsultan CAP relatif tersendat. Kedatangan yang mendadak ke lokasi perkampungan dan relatif kurang, juga kerapkali tidak memungkinkan bagi konsultan untuk bertemu dengan tim kerja di setiap kampung.
“Konsultan sih ada plus dan minusnya. Plusnya, ada beberapa konsultan yang duduk bersama tim kerja. (Tapi) Kalau untuk menjangkau masyarakat sih belum,” ujar Eni. Sehari, hari, Eni tinggal di Kampung Marlina yang merupakan salah satu di antara 16 kampung yang sedari mula diprioritaskan dalam program CAP.
Selain itu, sebagian konsultan juga dianggap masih merancukan pengertian ihwal kampung-kampung yang termasuk dalam program CAP dan yang kampung-kampung lain bukan termasuk ke dalam program CAP. Eni menduga, pihak konsultan belum memahami dengan sesungguhnya mana kampung-kampung yang sesungguhnya menjadi prioritas program CAP dan yang bukan.
Kecenderungan yang terjadi, imbuh Eni, terdapat pemahaman bahwa yang mesti juga dilakukan aktivitas konsultansinya adalah sejumlah kampung yang dikategorikan sebagai kawasan RW kumuh seperti dimaksudkan dalam pendataan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hal ini terjadi, kata Eni, karena sebagian konsultan melakukan koordinasi dengan sejumlah lurah yang lantas mengarahkan ke sejumlah RW kumuh yang dianggap meti jadi prioritas terlebih dahulu.
Siti Maemunah, yang menjadi salah seorang anggota tim kerja di Kampung Tongkol membenarkan hal tersebut. Tim kerja merupakan kelompok berisikan perwakilan warga kampung yang diharapkan bisa melakukan kolaborasi bersama pemerintah yang sebagian diwakili pihak konsultan, dalam program CAP tersebut.
Menurut Siti, komunikasi menjadi catatan penting yang selama ini relatif belum terjalin dengan baik antara warga kampung dengan pihak konsultan. Selain jarang menjalin interaksi, kecenderungan pertemuan juga selalu dilakukan secara mendadak.
Padahal, tidak mudah untuk mengumpulkan warga dan atau tim kerja dalam waktu yang sesegera itu. Pasalnya, setiap orang di kampung-kampung tersebut juga memiliki aktivitas masing-masing.
Selain itu, imbuh Siti, fokus perhatian oleh sebagian konsultan juga lebih cenderung ke aspek teknis dan pembangunan fisik. Ia juga menyayangkan kecenderungan belum terjadinya kolaborasi antara konsultan dengan warga.
Hal ini mewujud pada sebagian hasil rencana dan desain dalam bentuk DED dan RAB yang belum sesuai dengan keinginan warga. “Untungnya sebelum konsultan datang, kita sudah merancang “pre” CAP,” ujar Siti.
“Pre” CAP yang dimaksudkan adalah rancangan berdasarkan kolaborasi antara warga kampung dengan sejumlah pendamping dari berbagai latar belakang termasuk akademisi, termasuk sebagian di antaranya yang tergabung dalam JRMK dan UPC (Urban Poor Consortium). Ini berjalan di 16 kampung prioritas yang kemudian diajukan sebagai kampung prioritas untuk dijadikan dalam program CAP.
Apriadi yang akrab disapa Andi dan merupakan Community Organizer Urban Poor Consortium menambahkan, saat ini terdapat pertanyaan mengenai target yang ingin dicapai oleh sebagian konsultan dalam program CAP. Andi mendampingi warga di Kampung kerang Ijo, Blok Empang, dan Baru Tembok Bolong dan merupakan kampung-kampung yang sebelumnya diprioritaskan ke dalam 16 kampung CAP.
“Kita penasaran, target konsultan ini dari CAP yang dia fasilitasi, targetnya apa,” sebut Andi. Ia menyoroti kekurangan pada aspek komunikasi dan koordinasi yang hingga saat ini cenderung masih terjadi.
Sejumlah kecenderungan seperti interaksi komunikasi yang kurang, pola kunjungan yang mendadak, rencana kegiatan yang lebih fokus pada pembangunan fisik, dan tumpang tindih dengan penangangan RW kumuh berdasarkan survei BPS menjadi sejumlah hal yang juga ditemui Andi. “Belum menyentuh soal keamanan bermukim,” ujar Andi.
Hal itu bermuara pada kualitas laporan yang diberikan. Menurut Andi, laporan itu memiliki jenjang laporan awal, laporan antara, dan laporan akhir sebelum berujung pada DED (Detail Engineering Design) dan kemudian RAB (Rencana Anggaran Biaya)
Pada saat ini, proses tersebut masih terus berjalan di sebagian besar kampung. Artinya, warga masih memiliki kemungkinan untuk melakukan koreksi, dengan catatan ada komunikasi dan koordinasi ideal yang dilakukan bersama konsultan.
Perlu Dikawal
Program CAP sebelumnya diinisiasi oleh perwakilan 16 kampung dan sejumlah aktivis penataan kota yang terdiri dari sejumlah lembaga dan latar belakang. Pada awalnya, CAP merupakan kelanjutan dari kontrak politik yang dibuat pada 8 April 2017 lalu, sebelum Anies Baswedan dipilih sebagai gubernur dengan sebagian pegiat pemberdayaan masyarakat kota seperti JRMK.
Sebanyak 16 kampung ditetapkan dalam program tersebut pada saat peluncuran persiapan CAP di Waduk Pluit, Jakarta, pertengahan Januari lalu. Belakangan, jumlahnya bertambah jadi 21 kampung.
Kampung-kampung ini lantas ditetapkan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 878/2018 tentang Gugus Tugas Pelaksanaan Penataan Kampung dan Masyarakat. Masing-masing adalah Kampung Lodan, Tongkol, Krapu, Muka, Walang, Akuarium, Marlina, Elektro, Gedong Pompa, Blok Empang, Kerang Ijo, Baru Tembok Bolong, Tanah Merah, Prumpung, Rawa Barat, Rawa Timur, Guji Baru, Kunir, Kali Apuran, Sekretaris, dan Baru.
Menurut Eni, lima kampung tambahan selain yang sebelumnya diprioritaskan dalam 16 kampung CAP, juga cenderung belum beroleh pendampingan intensif sebagaimana dilakukan. Misalnya saja dengan sejumlah pelatihan, pembentukan koordinator wilayah, dan sebagainya guna memahami tentang konsep CAP bahkan jauh hari sebelum program itu ditetapkan secara resmi oleh pemerintah.
Sementara itu, terdapat pula daftar kampung-kampung yang didefinisikan senagai wilayah RW kumuh berdasarkan pendataan atau survei BPS. Daftar ini, sekalipun belum diputuskan sebagai wilayah kampung yang akan dikelola dengan konsep CAP, pada praktiknya saat ini disebutkan Eni, Siti, dan Andi cenderung dirancukan atau tumpang tindih dengan pola aktivitas yang dilakukan sebagian konsultan dalam melakukan kegiatan berkonsep CAP.
Eni menggarisbawahi, sebagai program perencanaan pembangunan, CAP jauh lebih baik ketimbang model lain, misalnya seperti Musrenbang (Musyawarah Perencanan Pembangunan). Pasalnya, ada kemungkinan untuk melakukan koreksi dan kolaborasi dalam prosesnya.
“Kalau Musrenbang kita tidak bisa koreksi, setelah (rencana) jadi, ya sudah adanya kayak gitu. Kalau CAP kita bisa koreksi. Ada tingkatan (koreksinya) di konsultan dan kepala dinas. Itu plusnya,” sebut Eni.
Keunggulan itulah, terutama dalam melakukan kolaborasi bersama-sama warga, yang kini tengah dinanti-nantikan. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan upaya perubahan pola pikir dan praktik pembangunan di DKI Jakarta dari administrator-penghuni, penyedia jasa-konsumen, dan fasilitator-partisipan menjadi kolaborator dan kokreator.