Kolaborasi Kunci Sukses Desa
YOGYAKARTA, KOMPAS - Banyak contoh pengelolaan desa yang sukses di tengah banyaknya laju desa yang jalan di tempat atau malah tertinggal. Kolaborasi banyak pihak menjadi kunci, selain keberadaan tokoh penggerak lokal sebagai eksekutor sekaligus pengendali arah.
Desa Pujon Kidul salah satu contohnya. Desa di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur itu dulunya tak dikenal. Kini, tenar sebagai tujuan wisata kuliner, agrowisata, dan swafoto menarik. Setiap akhir pekan, pengunjung mencapai 3.000-an orang dan 500-an saat hari kerja.
Ada enam unit usaha dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), salah satunya unit usaha. Sejak tahun 2017, warga mendirikan Kafe Sawah di atas tanah kas desa seluas 8.500 meter plus lahan parkir. Kafe itu menyedot 80 karyawan lokal.
Kafe Sawah didirikan tahun 2017 di atas tanah kas desa seluas 8.500 meter
Dalam setahun, kafe itu saja memberi pemasukan desa Rp 75 juta. Itu belum termasuk dari puluhan warung di sekitarnya yang diatur dalam Peraturan Desa. "Kami berkembang karena banyak pihak, termasuk soal pendanaan yang kami butuhkan," kata Kepala Desa Pujon Kidul Udi Hartoko, Selasa (11/9).
Dana pengembangan wisata berasal dari banyak sumber, salah satunya dana desa. Tahun 2016, Pujon Kidul menerima Rp 600 juta, dan Rp 60 juta di antaranya untuk wisata. Tahun 2017, dari Rp 839 juta dana desa yang diterima, Rp 150 juta dialokasikan untuk Kafe Sawah dan Rp 100 juta untuk wisata konservasi.
Di Desa Pendung Talang Genting, Kecamatan Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi, para pemuda disana pun berhasil menyulap rawa menjadi kolam wisata yang diberi nama Taman Kolam Pertiwi. Memanfaatkan dana desa, dua tahun terakhir rawa dan semak belukar dipoles menjadi taman bunga lengkap dengan berbagai alat permainan sepeda kabel, flying fox, hingga perahu bebek.
Pengelolaan desa wisata dipadukan dengan BUMDes sehingga lebih rapi dan profesional. "Itu menyerap tenaga kerja sepuluh persen penduduk desa," kata Ketua Pengurus BUMDes Abdul Basit. Kini, para pemuda desa pengurus badan usaha itu menerima gaji Rp 1,5 juta per bulan.
Dari contoh itu saja, pengangguran di desa terpangkas karena aktivitas ekonomi setempat. Kemandirian desa itulah yang salah satunya menjadi tujuan penyaluran dana desa sejak tahun 2015.
Banyak pihak terlibat
Di balik semua kisah sukses atau mengeliatnya desa, ada proses pendampingan nyata dan berkelanjutan. Pendampingan itu bisa dilakukan pemerintah, swasta, perguruan tinggi, atau organisasi non pemerintahan yang disesuaikan kebutuhan desa.
Namun demikian, kajian kerjasama Kompas dengan Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (DPkM UGM) atas program pembangunan di 100 desa di berbagai wilayah menjumpai, belum semua desa menunjukkan kolaborasi yang memandirikan desa.
Kajian ini, misalnya, menemukan minimnya keterlibatan para pemangku kepentingan mulai dari karyawan, investor, pemerintah, dan masyarakat.
Peran serta swasta berkolaborasi atas program unggulan kawasan desa (Prukades), misalnya, sangat minim. Hal itu tercermin dengan penempatan keterlibatan swasta pada prioritas tindakan yang kesembilan bagi warga desa.
"Padahal, peran mereka penting agar usaha menghasilkan produk berkualitas, beroperasi secara efisien, dan bertanggung jawab secara sosial dan etis, yang akhirnya mencapai dan mempertahankan profitabilitas," kata tenaga ahli Global Gotong Royong Tetrapreneur dari UGM, Rika Fatimah PL.
Menurut Rika, yang juga staf pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, penciptaan pasar non-kompetisi, salah satunya bisa dilakukan dengan bekerjasama CSR Industri dalam membeli atau memasarkan Prukades tersebut. Meskipun non-kompetisi, hal ini dapat membina setiap aktivitas transaksi jual beli Prukades tersebut sehingga proses yang dibangun merupakan proses simulasi produktif menuju Prukades yang berstandar kompetisi.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo menegaskan hal senada. Menurutnya, pendampingan banyak pihak mutlak diperlukan. Apalagi, bila itu dikaitkan dengan laporan pertanggungjawaban bantuan, termasuk dana desa yang tergolong detil karena menyangkut penggunaan anggaran negara.
Sebagai contoh, dari 74.957 desa penerima bantuan dana desa tahun 2015, masih ada kepala desa berlatar belakang pendidikan SD dan SMP. Mereka harus membuat perencanaan pembangunan secara detail.
"Kita saja kalau tidak pengalaman masih banyak bolongnya," kata Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo. Itu belum termasuk cara mengenali potensi daerah dan merencanakan desa mandiri berikut kerja sama dengan pihak luar.
Untuk itulah, kata Eko, pihaknya pun menggandeng pihak perguruan tinggi memberi pelatihan sekaligus pendampingan. "Kami bekerja sama dengan universitas. Ada seratus universitas tergabung dalam Pertides (Perguruan Tinggi untuk Desa)," kata dia.
Perguruan-perguruan tinggi itu setiap tahun mengadakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik membantu desa-desa, mulai soal administrasi desa hingga pemberdayaan. "Kami mengubah konsep pembangunan ke pemberdayaan sejak tahun 2006," kata Rektor UGM Panut Mulyono pada Workshop Penguatan Kerjasama dan Kemitraan Pengabdian kepada Masyarakat, akhir Agustus 2018.
Saat ini, UGM menerjunkan 8.000 mahasiswa di 34 provinsi di sekitar 300 desa. Mereka dibekali sejumlah keterampilan, termasuk mewariskan sejumlah keterampilan produktif bernilai ekonomis di lokasi KKN.
Di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, sebanyak 60 mahasiswa disebar di delapan desa. Pendampingan fokus mengolah buah kelapa menjadi aneka produk, di antaranya membuat minyak kelapa (VCO) dari daging kelapa dan mengolah batok kelapa menjadi asap cair, briket, sari buah kelapa, dan beragam kerajinan. Produk-produk itu dipamerkan di Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah, Selasa (7/8/2018).
Delapan desa yang didampingi berada di Pulau Seram, tepatnya di Kecamatan Amahai dan Teon Nila Serua. Wilayah itu kaya potensi kelapa, tetapi belum dikelola optimal. Pengolahan masih sebatas menjadi kopra atau minyak goreng.
”Sebelum kami memulai program ini, ada survei dulu. Kami menemukan perlu ada pendampingan untuk pengolahan buah kelapa. Masyarakat menyetujuinya,” kata Purwanto, dosen pembimbing lapangan dari UGM.
Penggunaan briket lebih ekonomis daripada minyak tanah. Briket juga bagian dari energi yang bisa diperbarui. ”Ini yang kami cari selama ini,” kata Abdul Rasyid Wattimena, warga Desa Rutah, Kecamatan Amahai.
Pelibatan swasta
Kolaborasi pemberdayaan desa dengan pihak swasta juga terjadi di Desa Sonraen, Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. (Kompas, 10/5/2018).
Kini, sekolah di desa itu, SDN Sonraen, gagah dan modern. Sekolah ini dilengkapi sarana dan prasarana belajar seperti di kota besar. Sekolah ini dibantu dan dikembangkan PT Astra International Tbk dengan menekankan karakter, lingkungan, kreativitas, dan kesehatan. Hal ini dilakukan secara berkelanjutan dengan menekankan kearifan lokal dan melibatkan masyarakat desa.
Sebuah taman bacaan berdiri di sudut barat SD Sonraen. Wastafel keramik diletakkan persis di dekat pintu masuk ruangan kelas. Sumur bor dengan kedalaman 70 meter dibuat di samping kiri halaman. Terdapat 15 alat tenun di salah satu ruang sekolah tempat pelatihan keterampilan siswa. Ada aula pertemuan berkapasitas 175 orang di bagian paling timur, lengkap dengan kursi dan podium.
Siswa SD yang sebelumnya takut belajar matematika dan IPA kini tertarik belajar.
Di sudut utara halaman gedung tampak sebuah demplot (tempat percontohan) hortikultura berukuran 5 meter x 8 meter. Di situ ada berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Demplot dikelola siswa di bawah arahan guru. Sementara itu, di ruang perpustakaan berukuran 6 meter x 7 meter ada enam siswa SD sedang mengoperasikan enam laptop. Siswa lain sedang menulis, membaca, dan menggambar. Mereka didampingi dua guru.
Ketua Yayasan Pendidikan Astra (YPA) Michael D Ruslim, Herawati Prasetyo, di Sonraen, sekitar 80 kilometer dari Kota Kupang, Kamis, mengatakan, dalam semua kegiatan siswa selalu ada guru pendamping yang sudah dilatih sebelumnya. Sistem belajar-mengajar di depan kelas menggunakan proyektor dan layar LCD.
Untuk pendidikan formal, YPA mendatangkan Prof Yohanes Surya ke Sonraen untuk memberikan pelatihan pendidikan kepada guru tahun 2017. Beberapa guru dikirim ke Jakarta mengikuti pelatihan lanjutan bidang eksakta dengan metode Gasing, suatu cara memberikan pelajaran kepada siswa secara ”gampang, asyik, dan menyenangkan”.
Siswa SD yang sebelumnya takut belajar matematika dan IPA kini tertarik belajar. Melalui metode itu, dua siswa SD Sonraen mengukir prestasi sebagai juara matematika tingkat kabupaten.
Kemauan masyarakat
Kolaborasi antara desa dengan pihak luar desa dinilai mampu mendorong kemajuan serta kemandirian desa. Kerja sama yang dibangun harus diatur dengan rinci, agar desa terkesan tidak sekadar dimanfaatkan oleh pihak luar.
Guru Besar dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM Susetiawan mengatakan, lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, sebagai suatu hal yang positif untuk memajukan desa. Desa diberikan kedaulatan sehingga bisa bekerja sama dengan siapa saja, termasuk pihak-pihak dari luar desa, mulai dari universitas hingga swasta.
“Desa ini mempunyai kewenangan untuk bekerja sama dengan siapa pun. Hanya saja dalam UU, memang tidak ada rambu-rambunya, bagaimana kerja sama dengan pihak lain itu diatur,” kata Susetiawan, saat ditemui, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Sleman, Kamis (13/9/2018).
Perlu dibuat peraturan turunan yang menjelaskan secara lebih rinci tentang pihak luar itu. Peraturan turunan itu nantinya juga harus mengatur tentang apa saja yang berhak dilakukan oleh pihak luar dalam kerja sama itu. “Dalam membangun network atau kerja sama dengan siapa pun itu perlu ada pengaturan yang lebih baik agar kerja sama itu tidak merugikan warga desa dan menguntungkan lebih besar pihak luar,” kata Susetiawan.
Susetiawan menjelaskan, desa harus diposisikan sebagai subjek dalam kolaborasi bersama pihak luar untuk menuju kemandirian. Dalam hal tersebut, desa memerlukan pendampingan guna menemukan potensinya agar selanjutnya mengelola potensi tersebut untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi desa.
Selama ini, desa kerap dipandang sebagai obyek yang perlu diberikan bantuan. Akibatnya, desa seolah sulit maju karena terlalu bergantung dengan berbagai bantuan. “Pendamping itu posisinya tidak memberikan bantuan terus menerus. Semisal, warga desa kesulitan mencari pasar untuk menjual potensi desanya. Pendamping hanya bertugas untuk membukakan akses terhadap pasar bagi warga desa,” jelas Susetiawan.
Hal senada disampaikan sosiolog UGM Arie Sujito. Bahwa keterlibatan banyak pihak ke desa baik-baik saja selama mengikuti gerak kemauan masyarakat desa. “Jadi, misal ada perusahaan ingin masuk, tidak boleh buat program sendiri tapi harus melihat perencanaan pembangunan di desanya," kata dia.
Sebagai subjek, masyarakat desa berwenang untuk memetakan persoalan yang mereka hadapi, merencanakan program pembangunan untuk mengatasi persoalan yang ada, serta mengontrol pelaksanaan program yang dilaksanakan.
Seperti dikatakan Eko, ada banyak kisah sukses, khususnya terkait penggunaan dana desa seperti desa wisata di Pujon Kidul di Jawa Timur atau desa wisata Ponggok di Klaten, Jawa Tengah. Hal lain yang dibanggakan adalah terbangun jalan desa sepanjang 158.000 kilometer sejak ada dana desa.
Namun, di antara kisah-kisah yang menjadi acuan belajar negara lain, masih ada juga kisah desa-desa yang masih tertinggal dan sangat tertinggal. Kekeliruan penanganan dan pendampingan hanya akan memunculkan masalah baru, di antaranya masalah kesenjangan.
(WER/ITA/HRS/NAD/KOR/NCA/BRO/SIG/SUT/GSA)