JAKARTA, KOMPAS - Naskah-naskah kuno Nusantara yang merupakan kekayaan bangsa sekaligus dunia belum dilestarikan dan ditelaah secara maksimal. Padahal, di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang melampaui perubahan zaman dan layak dijadikan sumber pembelajaran bagi masyarakat.
“Ada 11.300 naskah kuno yang disimpan di Perpustakaan Nasional. Di dalamnya ada penjelasan tentang hukum adat, keagamaan, obat-obatan tradisional, serta semangat kegotongroyongan,” kata Kepala Perpustakaan Nasional M Syarief Bando ketika membuka Festival Naskah Nusantara di Jakarta, Senin (17/9/2018).
Salah satu naskah kuno yang penting bagi sejarah Nusantara ialah Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular yang digubah pada abad ke-14. Salah satu kalimat di dalam naskah itu ialah “Bhinneka Tunggal Ika” yang oleh Presiden Sukarno dijadikan semboyan Indonesia perlambang persatuan bangsa di dalam kemajemukan.
Di luar Perpusnas, terdapat pula 10.000 naskah kuno yang tercatat oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). Naskah-naskah tersebut disimpan oleh para pemilik yang mewarisinya secara turun-temurun.
Menurut Ketua Manassa Munawar Holil, kondisi naskah yang berada di bawah kepemilikan pribadi bermacam-macam. Ada yang terawat baik dan disimpan sesuai kaidah pelestarian. Akan tetapi, lebih banyak yang hanya teronggok di dalam lemari ataupun koper. Bahkan, banyak pula yang tergeletak di atas loteng. Naskah-naskah itu juga tidak pernah lagi dibaca.
“Para ahli waris dibesarkan dengan anggapan naskah-naskah tersebut keramat, sehingga mereka takut membukanya. Mereka juga tidak pernah diajari cara membaca baskah oleh para pendahulu,” ujar Munawar.
Di samping itu, perawatan yang tidak sesuai standar mengakibatkan naskah menjadi rapuh. Apalagi, naskah ditulis di atas medium organik seperti kertas, bilah bambu, kulit kayu, dan daun lontar.
“Para ahli waris dibesarkan dengan anggapan naskah-naskah tersebut keramat, sehingga mereka takut membukanya. Mereka juga tidak pernah diajari cara membaca baskah oleh para pendahulu,” ujar Munawar.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1993-1998 Wardiman Djojonegoro mengatakan, digitalisasi adalah masa depan pelestarian naskah kuno. Dalam hal ini, kendala nomor satu ialah pengalokasian anggaran.
Pemerintah belum bisa memberi anggaran yang cukup untuk penyimpanan dan digitalisasi naskah. Saat ini, upaya tersebut masih mengandalkan santunan dari pihak swasta dan kuar negeri. Contohnya, dari 25 juta arsip Perusahaan Dagang Hindia-Belanda (VOC), sebanyak 15 juta arsip tersimpan di Indonesia.
“Donasi dari sebuah yayasan di Belanda hanya cukup untuk melestarikan 1 juta naskah VOC,” tuturnya.
Aspek penting lainnya ialah ketersediaan sumber daya manusia, dalam hal ini adalah filolog yang bisa membaca, menerjemahkan, dan menelaah naskah kuno. Munawar mengungkapkan, mahasiswa program studi sastra daerah dan sastra nusantara hanya sedikit yang menekuni filologi. Mereka lebih memilih fokus kepada linguistik.
Kalaupun ada yang menekuni filologi, masih pada naskah Jawa kuno. Padahal, kekayaan naskah Nusantara meliputi berbagai bahasa, antara lain Batak, Arab-Melayu, dan Bugis.
“Mungkin pemerintah ataupun pihak swasta bisa memberi beasiswa bagi mahasiswa dan dosen untuk meneliti naskah-naskah kuno dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia,” ucap Munawar. Dalam proses pengajiannya, juga dikembangkan kolaborasi antara lain dengan pakar farmasi, botani, ataupun hukum agar kontekstual.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco Arief Rachman menjelaskan, naskah kuno merupakan warisan dunia yang diamanatkan kepada Indonesia untuk dilestarikan dan disebarkan maknanya. Hal ini merupakan salah satu wujud pendidikan karakter karena bersifat keluhuran universal.
Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk Pengembangan Karakter Arie Budhiman menuturkan, pemerintah berencana untuk melakukan digitalisasi naskah kuno dan menyebarkan terjemahannya ke sekolah-sekolah sebagai materi pembelajaran.