Baghdad, Selasa - Komandan milisi Irak Hadi al-Amiri mengundurkan diri dari proses pencalonan perdana menteri. Pengunduran diri itu memudahkan kompromi pembentukan pemerintahan baru Irak.
Koalisi pimpinan al-Amiri menempati peringkat dua dalam pemilu Mei 2018. Selepas pemilu, berbagai koalisi belum sepakat soal siapa yang akan menjadi PM. Koalisi Fatih pimpinan al-Amiri mengajukan komandan milisi yang dekat dengan Iran itu sebagai calon PM. Belakangan, ia memutuskan mundur. “Saya menyatakan mundur untuk membuka jalan bagi dialog serius untuk PM dan pemerintahannya,” kata al-Amiri, Selasa (18/9/2018).
Koalisi Amiri tengah berunding dengan kelompok pimpinan Moqtada al-Sadr, pemenang pemilu Irak. Kelompok Sadr mendapat 54 dari 329 kursi di parlemen Irak. Akan tetapi, al-Sadr dan al-Amiri berbeda pendapat soal Iran.
Secara terbuka, al-Sadr menentang kehadiran Iran maupun Amerika Serikat di Irak. Sementara al-Amiri dekat dengan Iran. Ada pun PM Irak sekarang, Haider al-Abadi, cenderung dekat ke AS. Dalam pemilu 2018, kelompok al-Abadi menduduki peringkat ketiga.
Pada Juni 2018, al-Sadr dan al-Abadi sudah menjajaki koalisi untuk membentuk pemerintahan. Akan tetapi, tidak terdengar kelanjutan kabar penjajakan itu.
Sebelum pengunduran diri al-Amiri, koalisi Fatih sudah mengamankan kursi ketua DPR. Politisi sunni Mohammed al-Halbousi, yang bergabung dengan koalisi Fatah, terpilih sebagai ketua DPR dalam sidang pada Sabtu (15/9/2018).
Pemilihan al-Halbousi mengakhiri kebuntuan politik Irak pasca-pemilu. Setelah terpilih, tugas pertama Al-Halbousi adalah membawa parlemen memilih presiden baru Irak. Parlemen punya waktu maksimal 30 hari untuk memilih pengganti Fuad Masum, Presiden Irak sekarang.
Calon harus didukung minimal oleh 220 dari 329 anggota parlemen agar terpilih sebagai Presiden Irak. Sidang untuk memilih presiden baru harus dilaksanakan paling lambat 15 hari sejak Al-Halbousi terpilih. Dalam pembagian kekuasaan setelah Saddam Husein terguling, disepakati ketua parlemen dari Sunni, presiden mewakili Kurdi, dan PM dari kelompok Syiah.
Selanjutnya, dalam waktu 15 hari sejak terpilih, presiden harus meminta parlemen mengajukan calon PM. Selain harus politisi Syiah, calon PM harus memimpin blok terbesar di parlemen.
Calon PM terpilih punya maksimal 30 hari untuk memilih para calon menterinya. Jika kabinet sudah dipilih, calon PM dan kabinetnya harus mendapat persetujuan parlemen.
Jika parlemen menolak, presiden harus memulai pemilihan PM dari awal. Siklus itu akan terus berulang selama parlemen tidak setuju atas usulan kabinet yang diajukan PM. (AFP/REUTERS)