Persoalan malnutrisi anak di Indonesia patut menjadi perhatian serius. Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang ”Kondisi Ketahanan Pangan dan Gizi di Dunia” menyebutkan, Indonesia satu-satunya negara yang memiliki prevalensi tinggi untuk tiga indikator malnutrisi, yaitu anak pendek (child stunting), kurus (child wasting), dan kegemukan (child overweight).
Dalam laporan yang dirilis pada Selasa (11/9/2018) itu disebutkan, sebanyak 73 negara di dunia memiliki anak stunting dengan prevalensi 20 persen atau lebih. Sebanyak 29 negara memiliki anak yang kelebihan berat badan dengan prevalensi 10 persen atau lebih dan 14 negara memiliki anak kurus dengan prevalensi 10 persen atau lebih.
"Namun, hanya Indonesia di antara negara-negara ini yang memiliki prevalensi tinggi untuk tiga indikator malnutrisi anak," sebut laporan sebanyak 181 halaman ini.
Indonesia satu grup dengan Malaysia, Banglades, Mauritania, dan Sudan dalam hal tingginya prevalensi anak stunting. Untuk kasus anak kurus, kita satu grup dengan Timor Leste, Nigeria, Niger, India, Gambia, Yaman, Mali, dan Chad. Sedangkan untuk kegemukan pada anak, kita satu kelompok dengan 23 negara lain, seperti Turki, Papua Nugini, Siria, dan Irak.
Persoalan gizi anak (malnutrisi) di Indonesia ini sebenarnya telah berlangsung lama. Global Nutrition Report 2014 menempatkan Indonesia dalam kelompok lima besar negara dengan kasus stuntingterbesar di dunia. Indonesia juga masuk dalam 17 negara dari 117 negara dengan beban ganda masalah gizi, yaitu anak balita pendek, kurus, dan kegemukan bersama sejumlah negara Asia Selatan dan Afrika. Namun, 16 negara lain sepertinya sudah lepas dari beban ganda masalah gizi ini, menyisakan Indonesia yang menanggung tiga beban malnutrisi.
Bukti-bukti ilmiah telah banyak memaparkan bahwa anak balita yang mengalami masalah malnutrisi ini, kelak akan mengalami gangguan kesehatan serius seperti diabetes, ginjal, hingga penyakit jantung, dan stroke. Khusus untuk stunting, hal ini juga bisa berdampak terhadap penurunan kemampuan kognitif sekitar 10 persen saat dewasa. Hal ini karena stunting biasanya dimulai sejak awal pembentukan janin hingga 1.000 hari pertama kehidupan. Padahal, periode ini merupakan fase sangat penting bagi perkembangan berbagai organ tubuh dan otak manusia.
Berdasarkan hasil Pantauan Status Gizi (PSG) 2017 prevalensi stuntingbayi berusia di bawah lima tahun (balita) secara nasional sebesar 29,6 persen. Tingkat stunting tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan prevalensi mencapai 40,3 persen. Prevalensi stunting di NTT tersebut terdiri dari bayi dengan kategori sangat pendek 18 persen dan pendek 22,3 persen.
Tak hanya di NTT, tingginya tingkat stunting juga terjadi di kota-kota di Jawa. Masih menurut data PSG 2017, prevalanesi stunting di Jawa Timur mencapai 26,7 persen, Jawa Tengah 28,5 persen, Jawa Barat 29,2 persen, dan Banten 29,6 persen.
Pada umumnya, gizi buruk pada anak ini dipicu oleh sulitnya akses terhadap pangan berkualitas, untuk stunting hal ini terjadi sejak masa kehamilan. Selain itu, hal ini bisa juga dipicu oleh kondisi lingkungan yang buruk seperti sanitasi dan sarana air bersih yang memicu infeksi penyakit dan berikutnya menghambat pertumbuhan anak.
Sebaran persoalan ini yang meluas, baik di desa maupun kota, menunjukkan bahwa hal ini juga terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang makanan bergizi dan seimbang. Perubahan gaya hidup modern yang ditandai dengan banyaknya konsumsi pangan cepat saji, atau pertumbuhan industri pangan yang juga pesat, dengan iklan promosi amat gencar nyaris tanpa pengawasan, juga berkontribusi memicu hal ini.
Kondisi ini terutama terlihat dari persoalan anak dengan berat badan berlebih, yang menandai adanya ketidakseimbangan gizi. Kelebihan berat badan pada anak bisa jadi, bukan karena dia tidak memiliki akses terhadap makanan, namun karena kekeliruan pola dan pilihan jenis makanan.
Kegemukan pada anak terutama terjadi karena kelebihan gula, garam, dan lemak yang kerap ditemukan pada makanan cepat saji. Selain itu, kegemukan juga bisa menandai tubuh kekurangan nutrisi mikro seperti vitamin dan mineral. Oleh karena itu, kegemukan pada anak kerap disebut sebagai "hidden hunger."
Jelas bahwa, darurat malnutrisi yang melanda Indonesia merupakan buah kumulatif dari keabaian pemerintah dan sektor swasta dalam memahami keterkaitan pangan dan gizi dengan sekian macam dimensi ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, dan lain-lain. Maka, untuk mengatasinya juga diperlukan kolaborasi yang sungguh-sungguh dari berbagai lapis sektor ini.