Pemerintah menargetkan tingkat fertilitas 2,1 mulai 2020 agar besarnya jumlah penduduk usia produktif bisa dijaga lebih lama. Jika beban penduduk non produktif melonjak, akan membebani ekonomi.
KUTA, KOMPAS – Mulai tahun 2020, penduduk Indonesia ditargetkan tumbuh seimbang dengan tingkat fertilitas atau jumlah anak per perempuan usia subur 2,1 anak. Jika gagal, Indonesia akan kekurangan penduduk usia produktif seperti yang dialami negara maju saat ini.
Proyeksi Penduduk 2015-2045 berdasar hasil Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015 menyebut tingkat fertilitas (total fertility rate/TFR) pada 2015 mencapai 2,17. Tingkat fertilitas ini ditargetkan terus turun hingga mencapai 2,1 pada 2020 dan selanjutnya dijaga stabil pada angka 2,1 hingga 2045.
Tingkat fertilitas 2,1 menjadi syarat penduduk tumbuh seimbang. Penduduk seimbang digambarkan sebagai satu penduduk yang meninggal akan digantikan satu penduduk baru. Jika target TFR 2,1 bisa dijaga, jumlah penduduk Indonesia pada 2045 mencapai 319 juta jiwa. Jika gagal, jumlahnya mencapai 311 juta jiwa.
Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek seusai membuka Konferensi Internasional Tingkat Menteri dalam Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular di Kuta, Bali, Selasa (18/9/2018), mengatakan, rendahnya tingkat fertilitas membuat laju pertumbuhan penduduk lanjut usia tinggi dan pertambahan penduduk usia produktif (15-64 tahun) melambat.
Rendahnya tingkat fertilitas membuat laju pertumbuhan penduduk lanjut usia tinggi dan pertambahan penduduk usia produktif (15-64 tahun) melambat
“Meski tumbuh seimbang, penduduk (Indonesia) tetap harus berkualitas,” katanya. Kondisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi mereka akan sangat menentukan kualitas penduduk.
Tidak mudah
Di luar persoalan bahwa TFR hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 mencapai 2,4 anak atau lebih tinggi dibanding hasil Supas 2015, upaya menjaga penduduk seimbang bukan perkara mudah. Tren global di negara maju menunjukkan sulitnya mendorong kembali kelahiran setelah turun drastis.
Meski secara nasional penduduk Indonesia masih di atas batas seimbang, nyatanya tingkat fertilitas di sejumlah provinsi pada 2015 sesuai Proyeksi Penduduk 2015-2045 sudah di bawah 2 anak per wanita. Di DI Yogyakarta dan Jawa Timur, TFR-nya sudah mencapai 1,82, DKI Jakarta 1,87, Bali 1,89, dan Jawa Tengah 1,95.
Situasi itu, lanjut Pelasana Tugas Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Sigit Priohutomo, program kependudukan di setiap daerah tidak bisa disamaratakan. Daerah dengan tingkat fertilitas tinggi ditargetkan diturunkan hingga seimbang, sedang daerah yang fertilitasnya rendah diarahkan untuk ditingkatkan kualitas penduduknya sembari mendorong kenaikan TFR.
“KB bukan hanya soal membatasi atau menunda kelahiran,” tegasnya. Ke depan, program kependudukan dan KB itu difokuskan untuk anak muda sebagai generasi masa depan agar memiliki pendidikan, kesempatan kerja, dan perencanaan pembangunan keluarga dengan baik.
Ke depan, program kependudukan dan KB itu difokuskan untuk anak muda sebagai generasi masa depan agar memiliki pendidikan, kesempatan kerja, dan perencanaan pembangunan keluarga dengan baik.
Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Masyarakat Universitas Korea, Seoul, Korea Selatan Myung Jin Hwang memaparkan beratnya upaya Korsel membalikkan keadaan agar masyarakatnya mau lagi memiliki anak. Saat program KB dikenalkan pada 1981 dengan program hanya satu anak, tingkat fertilitas masyarakat masih 2,8.
Pada 1996, kebijakan satu anak dihapuskan. Selanjutnya, sejak 2003, sejumlah program untuk mendorong lebih banyak anak dilakukan, seperti bantuan perumahan, pengasuhan anak untuk orangtua yang bekerja, hingga bantuan pendidikan. Namun, hasilnya tetap tidak menggembirakan. Akibatnya, TFR Korsel pada 2017 hanya 1,05.
Pelambatan pertumbuhan penduduk produktif itu tak hanya dialami Korsel, tapi juga Jepang dan negara maju lain. Sementara sejumlah negara dengan penduduk yang besar dan pertumbuhan ekonominya tinggi, mulai mengalami percepatan pertambahan penduduk senior, seperti China, Thailand, dan Singapura.
Struktur demografi penduduk Indonesia sebenarnya termasuk penduduk muda. Namun, pelan tapi pasti, penduduk lansia terus bertambah. Apalagi, saat bonus demografi nanti selesai setelah tahun 2035.
“Inilah pentingnya Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) untuk berbagi pengalaman dari negara yang masyarakatnya sudah menua, negara dengan proses penuaan cepat dan negara yang masih di tahap awal penuaan,” kata Guru Besar Emeritus Kependudukan Universitas Nasional Australia Gavin W Jones.
Sementara itu Direktur Regional Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Asia Pasifik Björn Andersson menekankan KSST bisa dimanfaatkan saling tukar pengetahuan, teknologi dan inovasi untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030.
“UNFPA berkomitmen untuk mengakhiri situasi masyarakat yang ingin ber-KB tapi tak terlayani (unmet need), kematian ibu yang bisa dicegah, serta kekerasan dan praktik berbahaya pada perempuan anak dan dewasa,” katanya.