Ketimpangan yang Tinggi Turunkan Pertumbuhan Ekonomi
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Rasio Gini atau tingkat ketimpangan yang tinggi dapat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi bangsa. Peningkatan produktivitas masyarakat menjadi salah satu kunci untuk memangkas ketimpangan di Indonesia.
Dalam kajian yang dilakukan Smeru Research Institute berjudul Mengestimasi Dampak Ketimpangan terhadap Pertumbuhan dan Pengangguran di Indonesia pada 2017, ketimpangan akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi setelah melewati ambang batas tertentu.
Adapun studi tersebut dilakukan berdasarkan data yang diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional periode 2000-2012. Ukuran ketimpangan diambil lebih dari 300 kota/kabupaten yang ada pada masa tersebut.
Peneliti Senior Smeru Research Institute Athia Yumna di Jakarta, Selasa (18/9/2018), menyampaikan, hal itu terlihat dari temuan bahwa relasi antara pertumbuhan dan ketimpangan naik secara bertahap dan kemudian turun setelah mencapai puncak pada titik 0,3.
“Ketimpangan di Indonesia cenderung stabil pada 1960-1980. Namun, peningkatan ketimpangan terjadi sejak awal 2000,” kata Athia.
Peningkatan ketimpangan terjadi sejak awal 2000
Bahkan, rasio Gini ketimpangan melesat pada 2004-2011, mencapai 0,41 akibat commodity boom. Commodity boom adalah fenomena dimana harga komoditas dunia mengalami kenaikan selama 2000-2010. Pengeluaran penduduk kaya menjadi lebih tinggi dibandingkan penduduk miskin pada masa itu.
Direktur Smeru Research Institute Asep Suryahadi menyampaikan, penyebab lain dari ketimpangan adalah tingkat produktivitas masyarakat yang tidak optimal. Hal itu terlihat dari adanya transformasi struktur perekonomian Indonesia.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menyebutkan, struktur produk domestik bruto (PDB) terdiri dari tiga sektor, yakni primer (pertanian), sekunder (industri), dan tersier (jasa).
Pada 2017, sektor primer menjadi penyumbang terkecil (22 persen), kemudian sekunder (33 persen), dan tersier (45 persen) terhadap PDB. Sedangkan dari segi tenaga kerja, sektor sekunder memiliki jumlah terkecil (14 persen), diikuti oleh primer (32 persen), dan tersier (54 persen).
Asep menjabarkan, sektor primer sebagai penyumbang terkecil PDB justru memiliki tenaga kerja yang lebih banyak ketimbang sektor sekunder. Itu menunjukkan tingkat upah yang diterima para pekerja juga lebih kecil.
Sektor primer sebagai penyumbang terkecil PDB justru memiliki tenaga kerja yang lebih banyak ketimbang sektor sekunder.
Di negara maju, lanjutnya, jumlah tenaga kerja di sektor primer terhadap PDB berkisar 1-2 persen saja. Jumlah yang kecil tersebut bahkan mampu menyumbang PDB secara signifikan karena dikelola secara efisien dan efektif.
“Pekerja di sektor pertanian cenderung tidak memiliki keterampilan di sektor lain,” tutur Asep. Dengan demikian, penyerapan tenaga kerja di dunia industri misalnya, menjadi tidak optimal. Pekerja yang beralih dari pertanian ke sektor jasa pun lebih berkutat di sektor informal, seperti pedagang kaki lima.
Oleh karena itu, peningkatan kapasitas masyarakat, khususnya di daerah pedesaan, terkait pendidikan dan keterampilan menjadi vital. Pemerintah juga tetap dapat meningkatkan pertumbuhan sektor sekunder kendati negara lainnya cenderung fokus dalam pengembangan sektor tersier.
Sebelumnya, Kepala Kajian Makro LPEM UI Febrio Kacaribu menyebutkan, peralihan masyarakat untuk bekerja di sektor tersier informal sebetulnya tidak memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian bangsa. Hal itu karena kendati sektor jasa lebih menyediakan akses terhadap pekerjaan, jumlah upah yang mereka terima tidak ikut naik.
Pendekatan holistik
Athia menyebutkan, ketimpangan merupakan isu sosial yang kompleks untuk langsung terlihat dan diatasi. “Ketimpangan berbeda dengan kemiskinan yang bisa langsung ditangani dengan memberi bantuan,” ucapnya.
Penanganan ketimpangan memerlukan pendekatan yang holistik. Ia menyebutkan, terdapat tiga langkah yang bisa terapkan, yakni penjaminan perlindungan sosial, akses lapangan kerja, dan kebijakan pajak yang efektif. Ketiga strategi tersebut dapat digunakan untuk menciptakan suatu program penanganan yang bersifat jangka pendek, menengah, dan panjang.
Penanganan ketimpangan memerlukan pendekatan yang holistik
Langkah pemerintah untuk memberikan bantuan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan, seperti beras sejahtera (rastra) dan Program Keluarga Harapan (PKH), dinilai sudah menjadi kebijakan yang tepat. Kebijakan tersebut dapat menjadi bantuan bagi masyarakat dalam jangka pendek dan menengah.
Kebijakan jangka panjang lainnya adalah dengan meningkatkan keterampilan masyarakat. Selain itu juga dengan menyesuaikan kebijakan terkait pajak yang lebih bersifat populis.