Komitmen Parpol Diuji
Etika dan moralitas parpol diuji dalam melihat putusan MA yang tak melarang bekas napi perkara korupsi menjadi caleg. Sesuatu yang dimungkinan oleh hukum, belum tentu tepat secara etis.
Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Agung yang membuka ruang bagi bekas narapidana perkara korupsi untuk menjadi calon anggota legislatif di Pemilu 2019 perlu dihormati. Namun ada etika dan moral yang posisinya di atas hukum, yang juga mesti diperhatikan dalam persoalan ini.
Terkait hal itu, putusan MA itu akan menguji komitmen partai politik (parpol) untuk tetap tidak mengajukan calon anggota legislatif (caleg) bekas narapidana korupsi. Hal ini karena korupsi di lembaga legisatif, telah menjadi persoalan amat serius.
Penetapan daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif akan dilakukan Kamis (20/09/2018) esok hari. Sejauh ini, dalam daftar calon sementara (DCS) DPR, DPD, dan DPRD, tidak ada bekas napi perkara korupsi karena saat itu KPU melarang pencalonan bekas napi kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak.
Setelah putusan MA membuka peluang bagi bekas napi korupsi menjadi caleg, sebanyak enam dari 10 parpol yang kini memiliki kursi di DPR RI, menyatakan tetap tidak akan mencalonkan bekas napi korupsi. Mereka adalah Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Amanat Nasional.
Empat parpol lainnya, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrat dan Partai Golkar, masih menunggu tindak lanjut KPU dalam menyikapi putusan MA.
Moralitas
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (18/9/2018) berharap, parpol tetap tidak mengajukan bekas koruptor sebagai caleg. "Persoalan Indonesia bukan hanya hukum, tetapi juga moralitas. Parpol mesti mengambil posisi moral yang jernih," harapnya.
Haedar menjelaskan, putusan MA harus dihargai karena hukum punya logika sendiri. Namun dalam konteks kebangsaan, Haedar menilai putusan MA itu kurang merepresentasikan suasana kebatinan masyarakat serta jiwa kebangsaan. Masyarakat mengharapkan wakil rakyat tidak memiliki beban moral dan rekam jejak yang bisa menyandera di kemudian hari.
Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Franz Magnis Suseno juga mengingatkan, individu dan parpol punya tanggung jawab etis ke masyarakat untuk tak mencalonkan kandidat yang pernah korupsi. Sesuatu yang boleh dilakukan secara hukum belum tentu tepat dilakukan secara etis.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Helmy Faishal Zaini, juga mengatakan, peserta pemilu idealnya adalah sosok yang bersih, dan tidak memiliki rekam jejak yang bermasalah.
Harapan adanya caleg yang bersih di pemilu, juga terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas pada Juliu lalu. Dari hasil jajak pendapat itu, sebanyak 75,7 persen responden setuju jika bekas napi korupsi dilarang menjadi caleg. Sementara itu, ada 76,9 persen responden yang menyatakan, saat pemilu tidak akan memilih caleg bekas napi perkara korupsi. (Kompas, 9/7/2018)
Pentingnya kehadiran caleg yang bersih, juga didorong oleh maraknya korupsi di lembaga legislatif. Pada 2004-2017, ada 144 anggota DPR dan DPRD yang diproses hukum KPK. Jumlah ini belum termasuk 41 anggota DPRD Kota Malang dan 38 anggota DPRD Sumatera Utara yang tahun ini ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK.
Terakhir, kemarin, Wali Kota Mojokerto Mas’ud Yunus dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan karena menyuap seluruh anggota DPRD Rp 2,3 miliar. Dari total Rp 2,3 miliar, sebanyak Rp 1,4 miliar diberikan langsung oleh Mas\'ud sejak 2016 ke 22 anggota DPRD Kota Mojokerto. Uang itu merupakan tambahan penghasilan tahun 2016 diluar penghasilan resmi.
Sikap parpol
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate menjamin saat ini sudah tidak ada lagi bacaleg berstatus bekas napi korupsi dari partainya. “Kami pilih tempatkan pakta integritas (untuk tidak mengusung caleg bekas napi korupsi) di atas undang-undang,"katanya.
Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Namun, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Zainudin Amali mengatakan, kini parpol pasif menunggu kebijakan KPU dalam menindaklanjuti putusan MA. “Kami akan ikuti apapun keputusan KPU, asal sesuai dengan putusan MA. Apakah masih boleh atau tidak (mengembalikan bacaleg eks napi korupsi yang sudah dicoret), kalau KPU oke, kami juga oke,” ujarnya.
Sementara itu, KPU sudah menerima salinan putusan MA yang tidak melarang bekas narapidana perkara korupsi untuk menjadi caleg di Pemilu 2019. Selanjutnya, KPU akan bergerak cepat, antar alain merevisi peraturan KPU hingga sesuai putusan MA.
Wahyu mengaku KPU akan berupaya bekerja cepat agar penetapan DCT DPR, DPD, dan DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota bisa dilaksanakan sesuai jadwal pada 20 September. Namun, dia juga menyampaikan tidak tertutup kemungkinan penetapan DCT tersebut ditunda karena menyesuaikan dengan revisi PKPU serta untuk pemenuhan kebutuhan teknis pencalonan para bacaleg bekas napi korupsi.