NEW yORK, SELASAKekejaman yang dilakukan militer Myanmar terhadap warga etnis Rohingya sudah melampaui batas yang sulit diterima akal. Untuk mengontrol sepak terjang militer Myanmar di masa depan, keterlibatan militer negara itu dalam politik domestik harus dicabut.
Hal tersebut mengemuka dalam presentasi yang disampaikan oleh Ketua Misi Pencari Fakta PBB tentang Myanmar, Marzuki Darusman, kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Geneva, Swiss, Selasa (18/9/2018). Misi yang dipimpin Marzuki mencari fakta kekejaman militer Myanmar terhadap etnis Rohingya.
Laporan yang didasarkan antara lain dari 850 wawancara mendalam dalam kurun waktu 18 bulan itu terangkum dalam 444 halaman. ”Tingkat kekejaman yang dilakukan militer Myanmar terhadap warga Rohingya sulit dipahami akal. Ini merupakan pengabaian total terhadap kehidupan masyarakat sipil,” kata Marzuki.
Dalam presentasi itu, Marzuki juga memerinci pembunuhan massal di desa-desa Rohingya, bagaimana warga Rohingya dikumpulkan, lalu dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. ”Para pria secara sistematis dibunuh,” kata Marzuki.
Sementara perempuan dan remaja putri diperkosa, serta disiksa secara mental dan fisik sebagai bentuk pengecapan terhadap mereka sebagai warga yang direndahkan. Menurut Marzuki, skala, kekejaman, dan upaya sistematis kekerasan seksual dijadikan sebagai taktik perang.
”Kami menyimpulkan bahwa sepak terjang Tatmadaw (militer Myanmar) dan pasukan keamanan memenuhi empat dari lima kategori tindakan genosida,” kata Marzuki.
Keluarkan militer
Laporan itu mengusulkan agar kepemimpinan militer dirombak sehingga tidak memiliki pengaruh lagi terhadap Pemerintah Myanmar. Laporan tersebut juga kembali menggarisbawahi agar Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing dan lima jenderal lainnya diadili karena terbukti melakukan genosida.
Selama puluhan tahun militer Myanmar mendominasi politik negara itu. Militer memiliki kursi di parlemen sebanyak 25 persen dan menguasai tiga kementerian utama, yaitu kementerian dalam negeri, perbatasan, dan pertahanan. Hal ini membuat militer berkuasa penuh dalam operasi- operasi keamanan dan tanpa pengawasan.
Selama hampir setengah abad militer Myanmar menguasai seluruh proses politik di negeri itu. Kehadiran militer di parlemen memungkinkan mereka untuk melakukan veto terhadap perubahan konstitusional. Hal ini menunjukkan bahwa proses menuju kepemimpinan sipil menjadi sangat sulit.
”Tidak mungkin mencabut militer dari kehidupan politik tanpa mengubah konstitusi, sementara militer memiliki veto terhadap perubahan konstitusional,” kata Mark Farmaner dari Burma Campaign kepada AFP.
Oleh karena itu, dalam masukannya, laporan PBB tersebut mendesak kepemimpinan sipil di Myanmar harus mendorong upaya pergeseran militer dari kancah politik praktis. Restrukturisasi militer Myanmar bisa dimulai dengan mengganti pimpinannya terlebih dulu.
Tetap bantah
Militer Myanmar membantah semua tuduhan yang tercantum dalam laporan tersebut dan menyebutkan bahwa respons yang dilakukan militer terhadap gerilyawan Rohingya bisa dibenarkan.
Militer Myanmar mengatakan, gerilyawan Rohingya menyerbu pos-pos perbatasan pada Agustus 2017 dan militer kemudian merespons serangan itu.
Namun, laporan PBB menegaskan bahwa taktik yang digunakan militer sangat tidak proporsional dibandingkan dengan ancaman aktual. Respons militer yang membumihanguskan desa- desa warga Rohingya dan membunuh sekitar 10.000 jiwa telah menyebabkan pengungsian besar-besaran sekitar 700.000 warga Rohingya ke perbatasan Bangladesh.
Tim pencari fakta yang dibentuk oleh PBB itu tidak hanya fokus terhadap militer. Mereka juga secara langsung mengkritik tokoh sipil Aung San Suu Kyi, penerima Nobel Perdamaian.
Suu Kyi dinilai gagal menyuarakan protes terhadap kekejaman yang dilakukan militer pada etnis Rohingya. Laporan ini juga menyebutkan, sehubungan dengan dalam dan luasnya praktik impunitas di Myanmar, maka satu-satunya peluang untuk memaksa militer bertanggung jawab adalah melalui sistem pengadilan internasional.
Laporan ini juga menyesalkan kegagalan kantor PBB di Myanmar yang melakukan ”diplomasi diam-diam” dalam menangani isu kekejaman militer. Sementara pihak-pihak yang berupaya melakukan pendekatan yang lebih tegas justru ”diabaikan, dipinggirkan, dan upayanya dihalangi”.