VIENNA, KOMPAS—Perubahan iklim yang ekstrem menimbulkan dampak buruk terhadap kehidupan manusia dan lingkungan hidup di dunia. Untuk mengurangi risiko atau mitigasi bencana akibat perubahan iklim, makin banyak negara, termasuk Indonesia, menggunakan teknologi nuklir karena rendah karbon.
Deputi Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Aldo Malavasi menyampaikan hal itu, dalam sambutannya, pada Forum Ilmiah IAEA 2018 bertema “Teknologi Nuklir untuk Iklim, Mitigasi, Pemantauan, dan Adaptasi”. Selasa (18/9/2018), di Vienna International Center, Vienna, Austria.
Mitigasi perubahan iklim membutuhkan kebijakan, pendekatan, dan teknologi yang bisa mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Penggunaan teknologi nuklir bisa membantu mengatasi sejumlah persoalan akibat perubahan iklim antara lain pada ekosistem perairan, pertanian, peternakan, dan kesehatan antara lain penyakit bersumber pada binatang.
Menurut Aldo, pihak IAEA membantu negara-negara anggota badan internasional tersebut untuk merespons perubahan iklim. Contohnya, badan internasional tersebut mendukung penerapan teknik isotop untuk membantu para petani di sejumlah negara mengurangi penggunaan pupuk kimia hingga 90 persen yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca.
Putri Sumaya bint El Hassan dari Jordan menegaskan, teknik nuklir memainkan peran penting dalam pemantauan dan mitigasi perubahan iklim. Tantangan yang saat ini dihadapi manusia adalah bagaimana mengurangi emisi. Selain energi baru terbarukan, pemanfaatan energi nuklir dengan reaktor skala kecil generasi baru perlu didorong untuk memenuhi kebutuhan yang spesifik.
Penyedia teknologi
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto, seusai side eventForum Ilmiah IAEA 2018 tentang reaktor nuklir untuk riset, kemarin sore, memaparkan, untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, Batan mengembangkan varietas unggul tanaman pangan yakni memiliki produktivitas tinggi, tahan sejumlah hama, dan disukai warga.
“ Dari sisi lingkungan, kami membantu negara-negara Pasifik belajar memakai radio isotop untuk mengetahui sejarah kenaikan permukaan laut dan memprediksi laju kenaikan permukaan laut,” kata Djarot. Di bidang energi, Batan mengembangkan reaktor berpendingin gas suhu tinggi (high temperature gas reactor) skala riset untuk mengurangi pemakaian sumber energi fosil yang memercepat pemanasan global.
kami membantu negara-negara Pasifik belajar memakai radio isotop untuk mengetahui sejarah kenaikan permukaan laut dan memprediksi laju kenaikan permukaan laut.
Kepala Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Batan Toti Tjiptosumirat, menambahkan, Batan mengembangkan varietas tanaman tahan pada perubahan iklim. Contohnya, varietas tanaman tahan kekeringan karena banyak tanah lebih kering dan tanaman padi tahan genangan air bagi area rawan banjir. “ Kami bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi,” ujarnya.
Menurut Djarot, Batan membantu IAEA dalam mengembangkan nuklir untuk nonenergi antara lain sektor kesehatan, pertanian, dan peternakan. “ Jadi kami menjadi penyedia teknologi bukan saja untuk dalam negeri tetapi juga bagi negara-negara lain yang hendak belajar pemanfaatan nuklir, termasuk untuk energi,” ujarnya.
Toti menjelaskan, IAEA menunjuk Indonesia melalui Batan sebagai pusat kolaborasi riset nuklir di Asia Pasifik untuk menyebarluaskan pemanfaatan teknologi nuklir bagi kesejahteraan manusia. Melalui Batan, ada dua pusat kolaborasi IAEA di Indonesia yakni pengujian alat tanpa merusak dengan teknologi nuklir dan pemuliaan tanaman dengan radiasi.
Toti Tjiptosumirat
Sebagai pusat kolaborasi di Asia Pasifik, Batan mendapat bantuan dari IAEA untuk memerkuat kapasitas dan penambahan wawasan para peneliti. Sejumlah perwakilan negara di Afrika, misalnya, berusaha mengadopsi sistem jejaring dan program-program nuklir nonenergi di Indonesia.