Perubahan Bermekaran di Pedesaan
Desa hampir selalu dikaitkan dengan jalan tanah yang becek bila hujan atau minim fasilitas yang identik ketertinggalan dan nestapa. Mungkin, gambaran itu masih ada benarnya. Namun, gelombang literasi informasi dan teknologi secara tak sadar menyeret kota-kota berikut manusianya berpaling ke desa-desa.
Kesadaran desa untuk berubah yang disokong ketersediaan dana negara, swasta, dan pendampingan para pihak tak pelak memunculkan geliat perubahan di desa-desa. Sebagian bergerak menuju ke arah desa maju dan mandiri, sebagian lain masih berkutat pada pembenahan infrastruktur penunjang.
Di Yogyakarta, tumbuh subur desa-desa wisata, seperti di Gunung Kidul dan Kulon Progo, serta desa wirausaha di Bantul yang kian dikenal publik. Begitu pula di Jawa Tengah, seperti desa Ponggok, Klaten, yang beberapa tahun terakhir menjadi pembentuk tren desa wisata yang viral di media sosial. Tengoklah, di sana banyak orang kota berjubel antre menikmati keindahan suasana, berikut kuliner lokal yang katanya ”ndeso”.
Di Jawa Timur pun bermunculan desa-desa wisata yang tak kalah disambut heboh, seperti di Kabupaten Malang, hingga mendatangkan pemasukan relatif besar untuk pembangunan desa. Namun, semua itu membutuhkan proses yang tidak singkat.
”Kami memulai dari fisik, tetapi sejalan dengan itu kami letakkan dasar-dasar meningkatkan ekonomi masyarakat desa,” kata Kepala Desa Bagik Polak, Labuapi, Kabupaten Lombok Barat, NTB, Amraen Putra, awal September 2018. Tahun ini, dari dana desa Rp 984 juta, Rp 722 juta untuk drainase, pembetonan jalan, penerangan jalan umum, pembuatan taman desa, dan fasilitas mandi cuci kakus.
Dari kacamata kota dan modernitas, apa yang terjadi di Bagik Polak barangkali masih jauh dari kata maju. Namun, bagi mereka, mengubah kebiasaan buang air di sungai saja sudah salah satu prestasi. Fasilitas MCK publik berikut taman desa dengan fasilitas olahraga di tepi sungai memaksa warga tak lagi ”nongkrong” di sungai.
Kini, genangan air hujan lak lagi lama tergenang meskipun hujan lebat. Itu karena saluran drainase sudah dibangun dan dirawat. Bak-bak sampah dan pengolahan akhir sampah juga mulai disediakan di desa sekitar 10 kilometer di selatan Kota Mataram, ibu kota NTB itu.
Dua bulan terakhir, warga menghidupkan kembali Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang menyediakan bahan bangunan untuk warga. Sejumlah pelatihan usaha juga sudah dimulai meskipun masih butuh pendampingan. ”Hampir tidak ada bulan tanpa pelatihan, misalnya membuat makanan siap saji, mengolah minyak kelapa, hingga jamu,” kata Sri Murni, salah satu warga yang merasakan ada perubahan di desanya.
Belum lama ini, desa itu menjadi lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Gadjah Mada yang memberikan sejumlah bantuan dan pendampingan. Saat ini, UGM menerjunkan 8.000 mahasiswa di 34 provinsi di sekitar 300 desa. Secara khusus, tim Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat UGM membuat analisis efektivitas program pemberdayaan di 100 desa.
Baca juga : Desa Simpan Potensi Besar
Jalan Berdaya dari Wedang Uwuh dan Keripik
Tenaga Surya yang Mengairi Desa
Keberadaan mahasiswa, kata Amraen, sangat membantu warga desa. Ia berharap pemerintah daerah melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh para mahasiswa itu sehingga berkelanjutan.
Di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, warga Desa Sungsang IV bersiap melatih kemampuan bahasa Inggris mereka. Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan wilayah desa itu sebagai cagar biosfer. Itu berpotensi menjadikan desa itu banyak dikunjungi turis atau peneliti asing.
Kucuran dana desa yang pada 2018 berjumlah total Rp 60 triliun sedikit banyak memang memberi peluang bagi desa untuk berbenah. Di Desa Kalukubula, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tenggah, misalnya, jalan desa dan drainase memudahkan mobilitas warga. Pelatihan kewirausahaan menumbuhkan sejumlah usaha kelompok yang memberi tambahan penghasilan.
”Lumayan ada tambahan meski tidak besar. Kami siap meningkatkan produksi,” kata Ketua Kelompok Tiga Putri, Sumarsono. Kelompok itu memproduksi makanan ringan berbahan pisang setelah diberi pelatihan.
”Mak comblang”
Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo mengatakan, infrastruktur penting. Selain demi mobilitas warga, investasi apa pun mensyaratkan keberadaan fasilitas pendukung. Meski demikian, pihaknya telah meminta agar dana desa mulai diarahkan ke pemberdayaan masyarakat.
Investasi masuk ke desa juga dirasa penting agar menggerakkan ekonomi dan memberikan lapangan kerja bagi warga. Salah satunya dilakukan di NTT yang menggandeng swasta menyalurkan air dari dalam tanah kering ke tanah warga untuk ditanami tebu. Hasilnya, warga memperoleh pemasukan setiap bulan.
Namun, kata Eko, semua itu tidak akan terjadi tanpa respons positif kepala daerah dan warga desa itu sendiri. ”Kuncinya, jadi mak comblang. Tanpa ada komitmen bupati akan susah,” katanya terkait pemberdayaan daerah.
Soal pentingnya pemerintah daerah mendukung desa juga ditegaskan Wakil Bupati Trenggalek Muhammad Nur Arifin. Di sana, pemkab memberi dana bantuan khusus di desa yang didampingi KKN UGM. ”Supaya fokus pada program kerja dan mendampingi warga kami sehingga tidak usah mikir cari-cari dana lagi yang ujung-ujungnya bisa masuk ke meja saya juga,” katanya.
Di kabupaten itu, tiga desa didampingi mahasiswa, mulai dari soal administrasi sederhana hingga mengenali potensi dan memberi merek desa wisata sehingga ”layak jual”. Muncullah dokumen redesain pengembangan Pantai Wisata Kili-kili serta rencana pengembangan Pantai Pelang di Desa Wonocoyo.
Pantai Pelang dianugerahi hamparan pasir putih kecoklatan, goa kapur, dan air terjun, tetapi belum dikelola maksimal dengan melibatkan warga desa. ”Karena dikelola kabupaten, warga merasa kesulitan mendorong atau dilibatkan dalam pengembangan dan promosi,” kata Papang Wida, tokoh pemuda setempat.
Di Desa Manggis, tetangga Wonocoyo, warga diajak memaksimalkan industri rumahan dan meninggalkan persaingan usaha yang tidak sehat. Kini, mereka memiliki kesadaran bersama untuk maju.
Menurut Nur Arifin, Trenggalek ada di wilayah kantong kemiskinan, yakni di Jawa bagian selatan. Selain itu, sumber daya manusia yang unggul banyak merantau ke luar daerah, yang meninggalkan sumber daya yang perlu pendampingan lebih.
”Kami tak bisa bekerja sendiri untuk menyelesaikan masalah rakyat karena kami sadar masih punya keterbatasan. Adik-adik mahasiswa bisa membantu mengarahkan desa pada sasarannya,” katanya. Ia mengundang lebih banyak mahasiswa atau perguruan tinggi ke Trenggalek.
Pada Workshop Penguatan Kerja Sama dan Kemitraan Pengabdian kepada Masyarakat oleh UGM, akhir Agustus 2018, sejumlah utusan daerah meminta pendampingan berlanjut, termasuk mengirim tim KKN. Permintaan itu di antaranya datang dari Gorontalo, Samosir, dan Trenggalek.
Eko menegaskan, pihaknya menargetkan 5.000 desa tertinggal ”naik kelas” dan mencapai level lebih baik pada 2019. Berdasarkan analisis internal Kemendes, target itu telah terlampaui saat ini, bahkan mencapai 10.000 desa.
Soal capaian bisa diperdebatkan. Yang pasti, tidak sedikit dana negara dikucurkan untuk pembangunan dan pemberdayaan desa. Jumlahnya mencapai Rp 185 triliun dari dana desa saja sejak 2015. Itu di luar dana untuk pendampingan atau dana dari lembaga lain.
Tidak ada jaminan pendampingan akan membawa perubahan cepat di desa. Sebab, keberhasilannya tergantung banyak faktor, termasuk kesiapan aparat dan warga desa itu sendiri.
Namun, tingginya kunjungan ke desa-desa beberapa waktu terakhir dan geliat sukses sejumlah BUMDes menunjukkan perubahan sedang bermekaran di pedesaan. (VDL/NAD/HRS/DIA/GSA)