Sumber Pendanaan Lain Perlu Dimaksimalkan
JAKARTA, KOMPAS – Upaya sistemik memperkuat Dana Jaminan Sosial dengan cara menaikkan iuran tidak pernah disetujui pemerintah. Padahal, kenaikan iuran yang sesuai dengan perhitungan aktuaria menjadi salah satu jalan keluar atas defisit yang muncul. Pemerintah lebih memilih memberikan bantuan dana dan mencari sumber pendanaan lain untuk menutup kekurangan Dana Jaminan Sosial.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, mengatakan, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Itu sebabnya pemerintah perlu mempertahankannya dan menjamin keberlanjutannya dengan cara memilih solusi sistemik ketika Dana Jaminan Sosial defisit, bukan hanya tambal sulam. Salah satunya dengan mencari sumber pendanaan lain karena pemerintah tidak memilih opsi menaikkan iuran.
“Salah satu sumber pendanaan yang bisa diharapkan adalah dari pajak rokok daerah. Sebesar 75 persen dari 50 persen pajak rokok untuk kesehatan bisa dialokasikan untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),” kata Timboel, Selasa (18/9/2018), di Jakarta.
Alokasi dana pajak rokok daerah itu merupakan peningkatan peran pemerintah daerah dalam penguatan JKN. Hal ini menjadi salah satu bagian dari bauran kebijakan yang tertuang dalam peraturan presiden tentang JKN yang telah ditandatangani presiden. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo berharap, pemerintah setidaknya bisa mendapatkan sekitar Rp 1,1 triliun dari pajak rokok daerah ini.
Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, bauran kebijakan diharapkan bisa menghasilkan tambahan paling tidak Rp 2,69 triliun. Jumlah itu terutama berasal dari pajak rokok daerah (Rp 1,1 triliun), perbaikan manajemen klaim fasilitas kesehatan (Rp 750 miliar), penyelesaian tunggakan iuran pemerintah daerah (Rp 260 miliar), efisiensi dana operasional (Rp 200 miliar), strategic purchasing (Rp 160 miliar), serta perbaikan sistem rujukan dan rujuk balik (Rp 130 miliar). Angka itu merupakan target moderat yang dipasang Kemenkeu.
Meningkatkan iuran
Meski begitu, menurut Timboel, sumber pendanaan lain untuk menutup kekurangan tetap perlu dibarengi dengan upaya meningkatkan iuran secara bertahap sehingga keberlanjutan program JKN makin terjamin. Andaikan kenaikan iuran pada seluruh segmen peserta sulit dilakukan, setidaknya iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) bisa dinaikkan.
“Kita tahu kemampuan fiskal terbatas jadi jangan dipaksakan naik terlalu tinggi. Kalau memang iuran Rp 36.000 dinilai terlalu berat setidaknya naikkan dulu menjadi Rp 27.000 atau Rp 30.000 per orang per bulan,” ujarnya.
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR, Senin (18/9/2018) malam, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, mengatakan, ada beberapa upaya yang telah dilakukan terkait iuran, yakni mengusulkan kenaikan besaran iuran peserta PBI dan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) secara moderat serta mengusulkan batas atas upah peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) badan usaha. Namun, usul ini tidak disetujui. Akibatnya, iuran JKN tetap rendah.
Akibat iuran rendah dan biaya pelayanan kesehatan yang tinggi, rasio klaim pun lebih dari 100 persen. Data dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menunjukkan, secara berturut-turut rasio klaim sejak 2014 hingga Juni 2018 adalah 1104,76 persen; 108,16 persen; 99,19 persen; 114 persen; dan 107,48 persen.
Penetapan Iuran dalam Perpres 19 dan 28 Tahun 2016
No | Segmen Peserta | Perhitungan Aktuaria DJSN (perhitungan 2015) | Penetapan Pemerintah | Selisih | |
1 | Penerima Bantuan Iuran (PBI) | Rp 36.000 | Rp 23.000 | Rp 13.000 | |
2 | Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) | Kelas I | Rp 80.000 | Rp 80.000 | |
Kelas II | Rp 63.000 | Rp 51.000 | Rp 12.000 | ||
Kelas III | Rp 53.000 | Rp 25.500 | Rp 27.500 | ||
3 | Pekerja Penerima Upah (PPU) | Potongan Upah | 6 persen | 5 persen | - 1 persen |
Batas Atas Upah | 6 x Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) K/1 | Rp 8.000.000 | |||
Batas Bawah Upah | UMR per daerah |
Sumber: Presentasi Dirut BPJS Kesehatan pada rapat dengar pendapat di Komisi IX DPR, Senin (18/9/2018).
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, solusi jangka panjang mengatasi defisit dana JKN harus disiapkan. Selama ini akar masalah akibat ketiadaan integrasi data sehingga defisit setiap tahun meningkat. Integrasi data ini dibutuhkan sebagai sistem pengingat awal penyebab defisit terjadi. Data harus terintegrasi antara identitas pasien, rumah sakit termasuk jenis pelayanan, dan administrasi di BPJS.
“Kalau tagihan numpuk tidak masuk akal, ini manajemen yang amburadul,” kata Enny.
Menurut Enny, skema pembiayaan JKN harus mengacu formula asuransi, tidak bisa disamakan dengan subsidi. Tata kelola pembiayaan harus sesuai antara pembayaran premi dan layanan yang didapatkan. Jangan membuat operasional rumah sakit tersandera karena dana pengganti tidak sesuai.
Timboel menambahkan, pemerintah perlu mengendalikan biaya kesehatan. Untuk itu, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama perlu diperkuat sehingga pasien yang dirujuk bisa ditekan. Jika rujukan tinggi maka biaya kesehatan yang berasal dari pemanfaatan program di fasilitas rujukan akan semakin besar juga.
Pengendalian biaya bisa juga dilakukan dengan menekan angka rujukan, mencegah fraud, mengoptimalkan kolektabilitas iuran peserta, juga penegakan hukum terhadap badan usaha yang menunggak. “Pada laporan BPJS Kesehatan tahun 2017 angka rujukan 12,5 persen. Saat ini justru naik jadi 15 persen,” kata Timboel.
Bauran kebijakan
Sementara Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek memilih fokus untuk menjalankan bauran kebijakan guna mengatasi defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan. “Bauran kebijakan yang dibuat bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional itu diharapkan akan masuk dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan,” katanya seusai membuka Konferensi Internasional Tingkat Menteri dalam Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular di Kuta, Bali, Selasa.
Dari catatan Kompas, bauran kebijakan untuk memperkuat Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat itu sudah dibahas setahun terakhir. Namun pelaksanaannya di lapangan belum semua pihak yang terlibat menjalankannya.
Salah satu bentuk bauran kebijakan itu antara lain merapikan tipe rumah sakit sehingga proses rujukan berjenjang bisa berjalan. Salah satu syarat pengelompokan rumah sakit menjadi tipe A, B, C, atau D bergantung dari ketersediaan jumlah dan jenis tenaga medis yang ada. Penetapan tipe rumah sakit itu selama ini dinilai belum konsisten sehingga membuat pembayaran tarif layanan dari BPJS Kesehatan kurang tepat sasaran.
Perapian tipe rumah sakit itu juga untuk menghindari peserta yang enggan mengikuti sistem rujukan berjenjang yang sudah ditetapkan. “Memang ada usulan ada yang boleh loncat (tanpa melalui fasilitas kesehatan tingkat pertama), misal untuk orang yang sudah terdeteksi sakit ginjal atau jantung yang memang butuh layanan di rumah sakit. Ketentuan seperti ini harus diatur,” katanya.
Di sisi lain, kemungkinan terjadinya penyimpangan moral (moral hazard), baik yang dilakukan mereka yang di lembaga pelayanan kesehatan maupun BPJS Kesehatan, juga perlu dicermati. “Semua itu perlu di matching-kan (dicocokkan),” tambahnya.
Bentuk bauran kebijakan lainnya adalah penggunaan dana cukai rokok yang sebagian, sesuai aturan, bisa digunakan untuk membantu BPJS Kesehatan. Selama ini, dana cukai rokok itu digunakan untuk kegiatan promotif-preventif. Namun, kini bisa juga digunakan untuk kegiatan kuratif (pengobatan) guna mencegah agar orang yang sudah sakit tidak bertambah parah atau meningkat disabilitasnya, seperti edukasi dokter untuk pasien diabetes guna menghindari terjadinya luka kaki diabetik.
Namun untuk soal kenaikan iuran sebagai solusi mengatasi defisit BPJS Kesehatan, Nila enggan berkomentar panjang. “Kementerian Keuangan harus menghitung dulu karena keperluannya bukan hanya untuk BPJS Kesehatan meski persoalan kualitas kesehatan masyarakat juga penting,” katanya.
(M ZAID WAHYUDI/KARINA ISNA IRAWAN)