TANGERANG, KOMPAS — Tarif listrik menjadi salah satu komponen melihat daya saing sebuah negara. Di satu sisi, Indonesia terbilang tertinggal untuk urusan konsumsi listrik per kapita di kawasan ASEAN. Selain persoalan tarif, Indonesia punya pekerjaan rumah untuk terus menaikkan rasio elektrifikasi.
”Persaingan antarnegara bergantung pada tarif listrik. Kita punya modal berupa sumber daya (energi pembangkit listrik) yang melimpah sehingga bisa menghasilkan (tarif) listrik yang efisien,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla melalui pesan yang disampaikan lewat tayangan video pada pembukaan Hari Listrik Nasional ke-73, Selasa (18/9/2018), di Tangerang, Banten.
Agar konsumsi listrik per kapita Indonesia meningkat, lanjut Kalla, dibutuhkan percepatan pembangunan pembangkit listrik yang baru. Indonesia perlu membangun pembangkit listrik baru berkapasitas minimal 5.000 megawatt setiap tahun sampai 2023. Di tahun tersebut, Indonesia membutuhkan kapasitas terpasang hingga 100.000 megawatt untuk memenuhi kebutuhan konsumsi listrik yang terus naik.
”Apabila disebut pasokan listrik berlebih, itu karena kurangnya transmisi. Banyak daerah harus menunda pembangunan karena listrik belum sampai ke daerah itu,” ujar Kalla.
Sesuai data dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) per Juli 2018, tarif listrik golongan rumah tangga di Indonesia yang sebesar Rp 1.467 per kilowatt jam (kWh) masih lebih mahal dari Malaysia dan Vietnam. Namun, tarif tersebut lebih murah dibandingkan tarif di Singapura, Thailand, dan Filipina. Tarif listrik golongan rumah tangga di Malaysia paling efisien sebesar Rp 1.334 per kWh.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengingatkan agar perusahaan listrik swasta tidak melulu memikirkan laba perusahaan. Namun, mereka juga harus memikirkan untuk menghasilkan tarif listrik yang murah dan terjangkau. Menurut dia, tidak ada gunanya berbagai jenis seminar ataupun lokakarya ketenagalistrikan digelar kalau tidak mampu menghasilkan tarif listrik yang lebih murah.
”Ini harus dipikirkan. Harga listrik makin lama harus makin terjangkau. Di bidang transmisi dan distribusi, untuk menekan susut jaringan sebaiknya menggunakan smart grid atau cara lain yang lebih efisien,” kata Jonan.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Cirebon Electric Power Heru Dewanto mengatakan, perlu sejumlah syarat untuk menuju terciptanya tarif listrik yang murah atau terjangkau. Selain pilihan jenis teknologi pembangkit, kebijakan pemerintah memberikan harga khusus untuk batubara bagi pembangkit listrik PLN cukup signifikan. Peran teknologi digital juga diyakini dapat mengefisienkan sistem pendistribusian listrik (smart grid).
”Sebagai pemilik jaringan transmisi, PLN harus mampu menjaga kualitas dan keandalan jaringan agar angka susut jaringan bisa mengecil. Dengan demikian, efisiensi bisa terjaga, ujungnya dapat menekan tarif listrik ke konsumen,” kata Heru.
Subsidi naik
Pemerintah, lewat persetujuan Komisi VII DPR, sepakat menaikkan subsidi listrik pada 2019 menjadi Rp 57,67 triliun. Subsidi tersebut terdiri dari subsidi tarif sebesar Rp 56,46 triliun dan subsidi biaya pemasangan pelanggan baru golongan rumah tangga 450 volt ampere sebesar Rp 1,21 triliun. Dalam APBN 2018, subsidi listrik ditetapkan sebesar Rp 52,66 triliun.
”Agar konsumsi listrik makin banyak, kami sedang merancang aturan tentang kendaraan listrik agar bisa bersaing dengan kendaraan berbahan bakar minyak. PLN juga sebaiknya mempromosikan pemakaian kompor listrik untuk mengurangi impor elpiji. Ingat, subsidi elpiji tahun depan sebesar Rp 67 triliun, lebih besar dari subsidi listrik,” ucap Jonan.
Pemerintah berusaha mewujudkan rasio elektrifikasi hingga 99,99 persen sampai akhir 2019. Saat ini, rasio elektrifikasi tercatat sebesar 97,15 persen dan dimungkinkan tercapai 97,5 persen sampai akhir 2018. Konsumsi listrik per kapita saat ini yang sebesar 1.050 per kWh per kapita akan dinaikkan menjadi 1.200 per kWh per kapita sampai 2019.