Tingkat Vaksinasi Campak-Rubela di Luar Jawa Masih Rendah
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat penggunaan vaksin campak-rubela di luar Pulau Jawa masih tergolong rendah. Masyarakat diminta untuk segera melakukan imunisasi karena Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 33 Tahun 2018 telah memperbolehkan penggunaan vaksin tersebut.
Adapun kampanye imunisasi campak-rubela (measles-rubella/MR) tahap II dilakukan sejak Agustus sampai dengan September 2018 di 28 provinsi di luar Pulau Jawa.
Namun, hingga 17 September, capaian pemberian imunisasi MR baru 49,07 persen. Ini masih jauh di bawah target per tanggal tersebut, yaitu 83,98 persen dari total 31,96 juta anak.
Hingga 17 September, capaian pemberian imunisasi MR baru 49,07 persen.
Beberapa provinsi yang belum mencapai rata-rata nasional adalah Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh Hasraty, Rabu (19/9/2018), dalam acara Sapa Indonesia Pagi Kompas TV mengatakan, hanya Kota Banda Aceh yang masih melakukan pemberian imunisasi MR dari total 23 kabupaten di provinsi tersebut. Sementara kabupaten lain berhenti melakukan imunisasi setelah ada proses penundaan dari pemerintah daerah.
Untuk Kota Banda Aceh, layanan pemberian vaksin masih dilakukan di tiap-tiap sekolah ataupun puskesmas. Akan tetapi, masih ada sekolah yang menolak pemberian imunisasi.
”Masih ada warga yang mempertanyakan kehalalan dari imunisasi tersebut. Tetapi, di sekolah dan puskesmas, kami tetap memberikan pelayanan interaktif untuk menjelaskan kepada para orangtua,” ujarnya. Namun, pelayanan itu ditunda apabila masih ada pihak yang menunggu sertifikasi halal vaksin tersebut.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin, kemarin, menegaskan, imunisasi wajib dilakukan untuk menghindari ancaman, penyakit, atau kecacatan yang berkelanjutan. Dalam kondisi darurat, vaksin tidak dilarang, dari yang tidak halal menjadi boleh.
Imunisasi wajib dilakukan untuk menghindari ancaman, penyakit, atau kecacatan yang berkelanjutan.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat jumlah kasus campak dan rubela tahun 2014 hingga Juli 2018 sebanyak 57.056 kasus. Sebanyak 8.964 kasus positif campak dan 5.737 kasus positif rubela. Lebih dari 75 persen dari total kasus yang dilaporkan dialami oleh anak usia di bawah 15 tahun.
Diperbolehkan
Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 menyatakan, proses pembuatan vaksin MR oleh Serum Institute of India menggunakan bahan yang berasal dari babi. Meski begitu, surat yang dikeluarkan pada 20 Agustus 2018 itu juga menyatakan, vaksin MR boleh (mubah) digunakan karena kondisi darurat.
Kendati demikian, tingkat penggunaan vaksin MR di luar Pulau Jawa masih rendah. Menanggapi hal tersebut, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI Lukmanul Hakim mengatakan, masih banyak orang yang memahami fatwa tersebut tidak secara utuh. Oleh sebab itu, MUI dan pemerintah harus bersama-sama memberi penjelasan mengenai vaksin tersebut kepada masyarakat.
MUI dalam hal ini telah memberikan pegangan hukum kepada pemerintah bahwa boleh menggunakan vaksin tersebut dalam keadaan darurat. Lukmanul mengatakan, pemerintah perlu menegaskan agar pemberian vaksin MR diwajibkan kepada masyarakat.
Ahli vaksin Universitas Airlangga, CA Nidom, mengatakan, secara teknis vaksin MR aman dan tidak perlu dikhawatirkan oleh masyarakat. ”Vaksin ini sudah diperiksa mulai dari pabrik sampai dengan importirnya. Hal itu juga diawasi oleh badan otoritas kesehatan, terutama Badan Pengawas Obat dan Makanan,” katanya.
Di sisi lain, Nidom prihatin terkait rendahnya tingkat vaksinasi MR di luar Pulau Jawa yang tidak mencapai 50 persen. Hal ini dapat berdampak negatif apabila capaian vaksinasi itu tidak memenuhi target yang ditetapkan. Sebab, virus rubela sangat mudah menular ketika terinfeksi.
Pemberian vaksin MR merupakan langkah pencegahan sekaligus perlindungan kepada anak-anak dan orangtua. Infeksi rubela pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan permanen pada bayi yang dilahirkan atau dikenal dengan congenital rubella syndrome (CRS). Dampak lain adalah gangguan penglihatan, bahkan kebutaan, hingga kelainan jantung dan pengecilan otak. (DIONISIO DAMARA)