Di Pyongyang, ketika konvoi mobil kenegaraan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in melintasi jalan protokol, Selasa (18/9/2018), ribuan warga menyambut antusias. Mereka bersorak-sorai sambil melambaikan bunga dan bendera Korea Utara.
Sebaliknya, di Seoul, sambutan masyarakat Korea Selatan terhadap pertemuan itu adem ayem. Bahkan, sebagian warga memiliki pandangan yang tak seiring sejalan dengan semangat Moon menghangatkan hubungan Korsel dan Korut.
”Saya tidak tahu ada pertemuan itu karena sibuk belajar untuk ujian,” kata Na Minhee yang akan ujian sertifikasi akuntan publik Korsel.
Padahal, pada waktu pertemuan Kim dan Moon, April lalu, masyarakat Korsel rata-rata mengikuti proses pertemuan. Bahkan, banyak komuter yang kemudian menonton siaran langsung pertemuan di layar televisi besar yang dipasang di sejumlah titik kota. Sekolah-sekolah juga diminta menonton pertemuan itu di televisi.
Mulai Selasa (18/9/2018), Moon berkunjung selama tiga hari ke Korut untuk mencoba menghidupkan kembali proses perundingan perlucutan nuklir di Semenanjung Korea, khususnya dialog antara Korut dan Amerika Serikat. Sudah tiga kali Moon dan Kim bertemu untuk membahas isu ini.
Sikap dingin masyarakat Korsel kali ini merupakan gambaran dari tingkat popularitas Moon yang menurun akibat kelambanan pemerintahannya menangani persoalan ekonomi. Tak hanya itu. Pemerintahan Moon juga dianggap gagal memenuhi janji untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak.
Hasil survei opini publik yang dirilis, Senin lalu, oleh perusahaan polling Realmeter, dari 2.505 responden menunjukkan tingkat dukungan Moon turun hingga angka terendah, yakni 53,1 persen. Padahal, pada April lalu, saat pertemuan pertama dengan Kim, tingkat dukungannya mencapai 80 persen. Ketika pertemuan Kim dan Presiden AS Donald Trump, Juni lalu, di Singapura, tingkat dukungan pada Moon juga naik.
Data pemerintah, pekan lalu, tentang tingkat pengangguran Korsel menunjukkan, pada Agustus tingkat pengangguran Korsel mencapai tingkat yang tertinggi sejak krisis keuangan global. Hal ini terjadi karena kenaikan upah minimum wajib telah menyebabkan menurunnya tingkat perekrutan pekerja.
”Saya harap Presiden Moon mendahulukan penyelesaian persoalan ekonomi kita. Dia terlalu banyak memikirkan perdamaian antar-Korea, bukan ekonomi domestik,” kata Ryu Ho-jin (39), pengusaha UMKM di Seoul.
Peran Moon dalam dialog atau perundingan perlucutan nuklir memang penting karena tidak hanya mewakili Korsel, tetapi juga AS. Selain perlucutan nuklir itu, target lain adalah memulai proses perdamaian dengan mengakhiri Perang Korea (1950-1953) secara resmi lewat pakta perdamaian.
Semangat perdamaian dan penyatuan Korut dan Moon ternyata tidak mendapat sambutan hangat di Korsel. Bahkan, rakyat Korsel sebenarnya sudah hilang selera untuk bersatu karena kesenjangan dan perbedaan antara Utara dan Selatan yang terlalu jauh.
”Ada kaitan langsung antara situasi ekonomi dan dukungan publik terhadap kebijakan pemerintahan Moon kepada Korut. Kalau kondisi ekonomi buruk, secara psikologis orang menjadi kurang mendukung, apalagi kalau nanti biayanya harus ditanggung Korsel,” ujar Direktur Pusat Keamanan dan Unifikasi di Institut Asan untuk Studi Kebijakan Shin Beom-chul. (REUTERS)