Tantangan Konsesi Restorasi Ekosistem Biaya Tinggi dan Perambahan
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan bisa menunjukkan tanggung jawab lebih besar, terutama dalam pembiayaan restorasi ekosistem. Selama ini pengusaha pemegang konsesi selain menanggung biaya operasional juga menanggung biaya patroli yang dilakukan kepolisian dan pihak militer serta beragam pajak.
Hal itu diungkapkan Duta Besar Denmark Rasmus Abilgaard Kristensen di sela-sela seminar ”Addressing Encroachment: Lessons Learned from Ecosystem Restoration Concessions in Indonesia”, Kamis (13/09/2018) di Jakarta. Seminar tersebut digelar terkait berakhirnya pendanaan Danish International Development Assistance (Danida) program restorasi ekosistem Hutan Harapan pada akhir tahun ini.
Kristensen mengungkapkan, selama ini PT REKI sebagai perusahaan pemegang konsesi hutan harapan menanggung beban operasional dan biaya patroli oleh polisi dan pihak militer di samping biaya perizinan. Di samping itu, mereka juga harus membayar pajak tanah dan bangunan.
Luas konsesi PT REKI sekitar 100.000 hektar terdiri atas dua konsesi, di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi. Konsesi di Sumatera Selatan terbit tahun 2008 untuk luasan 52.170 hektar, sedangkan konsesi di Jambi terbit tahun 2010 seluas 46.385 hektar. Untuk kedua izin tersebut, PT REKI membayar lebih dari 1 juta dollar AS. Di Indonesia terdapat 16 konsesi restorasi ekosistem dengan luas total 623.075 hektar. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengalokasikan 19,3 juta hektar bagi konsesi restorasi ekosistem (KRE) selanjutnya.
Sampai 2018, total pajak yang dibayarkan PT REKI sekitar Rp 8,1 miliar. Dukungan pendanaan Danida pada hutan harapan berlangsung sejak 2011. Sepanjang 2011-2016, total bantuan untuk hutan harapan per tahun sekitar 1,66 juta dollar AS (sekitar Rp 23,24 miliar kurs dollar AS Rp 14.000. Periode 2016-2018 dana per tahun mencapai 1,48 juta dollar AS, sekitar Rp 20,72 miliar).
Dengan tujuan utama KRE, yaitu melakukan restorasi dan konservasi, Kristensen mengatakan, ”Anda tidak boleh mengekstraksi kayu dan tidak boleh juga menanam kelapa sawit karena akan merusak hutan. Karena tujuannya adalah menyelamatkan hutan, sulit untuk mendapatkan uang dari sana. Itu baik saja karena itu bagian dari logikanya.”
Kegiatan ekonomi yang bisa dilakukan PT REKI sebagai pemegang konsesi hanya dari produk hutan non-kayu, seperti madu, jernang, jelutung, serta kerajinan tangan. ”Kami sudah mempromosikan produk non-kayu, seperti permen karet, produk karet lainnya, madu, minyak, dan banyak produk kecil lainnya. Dan itu menolong kehidupan masyarakat asli yang hidup di dalam hutan. Namun, problemnya, semua itu tidak cukup untuk membayar tagihan yang hitungannya jutaan dollar AS untuk menjalankan operasi. Biaya sebesar itu tidak akan pernah bisa didapat dari produk itu,” ujar Kristensen.
Sementara, ”Biaya patroli yang dilakukan polisi setempat dan anggota militer setempat. Itu biaya yang juga harus dikeluarkan pemegang konsesi. Tidak mudah dan saya mengerti. Tetapi, sebenarnya itu tanggung jawab pemerintah, pemerintah setempat, atau pemerintah nasional. Patroli polisi dan militer seharusnya bukan dibayar pihak donor,” katanya.
”Saat ini ERC (baca: KRE) masih diperlakukan sebagai konsesi perusahaan untuk kayu, diperlakukan seperti perusahaan swasta sehingga harus membayar pajak; pajak bangunan, pajak tanah dan membayar biaya lisensi. Itu bukan jumlah yang kecil. Biaya lisensi saja jutaan dollar dan pajaknya besar,” kata Kristensen.
Skema restorasi ekosistem dilakukan pada bekas konsesi hutan produksi yang telah selesai dan ditinggalkan. Sering kali lahan tersebut berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, kebun karet, atau sebagai lahan pertanian masyarakat.
Dalam kondisi tersebut, lahan bekas hutan produksi biasanya juga diklasifikasi ulang dengan dikeluarkan dari klasifikasi kawasan hutan. Tahun 2003 sekitar 3 juta hektar hutan produksi dicadangkan untuk dikeluarkan dari status kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan lahan untuk pembangunan. Faktanya, ada sekitar 26,9 juta hektar hutan produksi terancam diklasifikasi ulang.
Skema konsesi restorasi ekosistem (KRE) merupakan upaya melakukan restorasi hutan dan konservasi keanekaragaman hayati. Saat ini ada 16 KRE dengan luas total 623.075 hektar. Konsesi restoras ekosistem ini tersebar di hutan tropis dataran rendah, lahan gambut, hingga area hutan di pegunungan.
Sementara menurut Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim Wahyu Marjaka, restorasi ekosistem di hutan produksi tidak mudah dan saat ini masih perlu proses pembelajaran. "Kami sedang mengembangkan peta jalan restorasi 2019-2025," ujarnya. Untuk mencapai praktik terbaik perlu ada insentif, pemantauan, dan evaluasi, serta membina kemitraan.
Mangara Silalahi dari Burung Indonesia sebagai mitra strategis PT REKI menjelaskan, misi Hutan Harapan ada tiga. Pertama, melindungi dan memulihkan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan, dan produktivitas dari hutan alam. Kedua, mengelola sumber daya agar tercapai keharmonisan antara alam dan kebutuhan manusia. Ketiga, berkolaborasi dengan beragam mitra dan menghasilkan inovasi teknologi restorasi hutan.
Perambahan dan konflik
Setiap konsesi bisa dikatakan selalu rawan konflik, perambahan, dan beberapa konsesi juga rawan pemburu liar. Konflik lahir karena di setiap kawasan biasanya telah ada penghuninya: warga lokal termasuk masyarakat adat dan kaum migran yang telah lama hadir di kawasan tersebut. Pihak lain yang juga terlibat konflik yaitu perusahaan pemegang izin perkebunan atau perusahaan, dan pemerintah. Setiap aktor bisa berkonflik satu sama lain.
Perambahan yang terjadi di Hutan Harapan terjadi pada periode 2007-2010 saat banyak perusahaan penebangan kayu mengembalikan izin. Kekosongan izin di lahan membuka peluang membanjirnya perambah. Perambah terdiri dari penduduk setempat, pendatang (dari Jawa, Bali, dan Sumatera sendiri), spekulator tanah, elitis lokal dengan agenda politis, serta aktivis reforma agraria besar-besaran. Dengan sekitar 30 titik masuk, pada tahun 2009 Hutan Harapan kehilangan lahan seluas 13.988 hektar dengan daerah yang ditebangi sekitar 22.866 hektar.
Bagi warga Batin Sembilan, perambah telah merusak sumber penghidupan mereka. Sungai tempat mereka memancing kadang-kadang dijadikan tempat menimbun kayu tebangan. Selain memancing, warga Batin Sembilan kadang-kadang berburu hewan ke dalam hutan.
Ibu Teguh mengatakan, Mendapatkan ikan menjadi sulit. ”Mereka datang dari jauh. Hari ini menghilang besok tiba-tiba sudah ada tumbangan pohon,” kata Ibu Teguh. ”Sekarang kalau berburu semakin jauh dan binatang buruan seperti rusa atau hewan berkaki empat lainnya, semakin sedikit. Kami meninggalkan kampung bisa sampai berminggu-minggu,” katanya. Kaum perempuan jarang pergi jauh ke dalam hutan karena. "Kalau perempuan pergi hanya beberapa hari," ujarnya.
Menurut Ibu Teguh, beberapa orang dari kaumnya telah kehilangan kesabaran. Sejauh ini, ketua masyarakat Batin Sembilan terus mengingatkan agar warganya tidak melakukan tindakan anarki.
Sementara Aidil Fikri dari Hutan Kita Institute melihat ancaman dengan adanya pembangunan jalan yang akan membelah wilayah Hutan Harapan. "Pembukaan jalan oleh perusahaan tambang membelah Hutan Harapan kalau dibolehkan maka akan cepat orang masuk merambah," ujarnya. Izin pembangunan jalan batu bara akan diberikan oleh pemerintah apabila ada rekomendasi dari pemerintah kabupaten dan provinsi. "Kalau (jalan) dibuka maka akan selesai itu REKI," tambahnya.
Sementara menurut Dharsono Hartono, Direktur Utama PT Rimba Makmur Utama (RMU), akar persoalan konflik adalah tidak adanya kepastian penguasaan lahan. ”Konflik muncul karena ketidakpastian penguasaan lahan akibat tidak adanya pemetaan,” ujarnya. Maka, sebelum PT RMU beroperasi, dia mengupayakan adanya pemetaan partisipatif. Dia menambahkan, untuk mengurangi potensi konflik, pihaknya menerapkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan equality (kesetaraan), terutama berhubungan dengan masyarakat setempat.
Selain itu dia juga membuka sekolah agroekologi untuk membantu masyarakat setempat meningkatkan produksinya dalam mengambil gula kelapa, bisa memanjat dua kali sehari. "Kalau masyarakat bisa produktif maka perambahan tidak akan terjadi," katanya.
Misi setiap konsesi restorasi ekosistem bisa beragam. Di Hutan Harapan, PT REKI bertujuan mengonservasi flora dan fauna serta merestorasi lahan, sementara PT RMU memilih wilayah dengan porsi konservasi lebih tinggi daripada restorasi. Mereka mendapat konsesi di Kabupaten Katingan dan Kota Waringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.
”Kami memilih wilayah itu karena sebagian besar berupa lahan gambut yang menyimpan karbon dalam jumlah besar. Di sana penduduknya sedikit karena dominan lahan gambut. Kami pun mengajak penduduk lokal untuk perdagangan karbon,” ujar Dharsono.
Syamsul Budiman, Ketua Pokja KRE, menegaskan, masalah perambahan hutan dan pembalakan liar harus menjadi program nasional, seperti penanganan kebakaran hutan. ”Perlu ada perjanjian kesepahaman dengan berbagai pihak,” ujarnya. Penyelesaian konflik melalui penegakan hukum, tambahnya, merupakan upaya yang paling akhir jika mediasi gagal.
Karena Hutan Harapan adalah pengelolaan hutan dengan skema KRE yang pertama, menurut Mangara, ”Hutan Harapan bisa menjadi pendorong perubahan kebijakan Konsesi Restorasi Ekosistem (RKE), termasuk pajak tanah, insentif, dan penyelesaian konflik.” (*)