Tak pernah mendapatkan legalitas sebagai penduduk, Rusman (52) memilih bertahan di tengah hutan. Meski tinggal jauh dari peradaban, tak berarti dirinya jauh dari geliat politik. Sebab, tak jarang para calon pejabat politik dan pemimpin daerah mengunjunginya di tengah rimba belantara.
Kunjungan itu tentulah tak jauh dari urusan menggalang suara. ”Kalau sudah dekat jadwal pilkada ataupun pemilu, calon-calonnya pasti datang kemari,” ujar salah satu pemimpin kelompok di komunitas adat Bathin IX, wilayah Kandang Rebo, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Para pemburu suara politik itu biasanya datang untuk menanyakan kebutuhan kelompok itu. Mereka juga menawarkan ini dan itu. Bagi Rusman dan warganya, kedatangan para calon dan tim sukses selalu menyematkan harapan baru.
Permintaan warga sederhana saja. Mereka hanya mengharapkan ada pengakuan negara dan hak bagi komunitas itu sebagai warga negara. Sebab, sampai sekarang keberadaan mereka tak diakui sebagai penduduk resmi, termasuk berbagai jenis bantuan yang semestinya didapatkan. ”Kami bahkan tidak pernah mendapatkan KTP (kartu tanda penduduk),” katanya.
Menjelang Pemilihan Bupati Batanghari, beberapa waktu lalu, salah satu calon datang untuk menggalang suara di kelompok itu. Sejumlah janji pun diberikan.
Begitu pula mendekati pemilu legislatif dan presiden yang lalu, ada saja pejabat atau tim sukses calon berkunjung. Yang terbaru adalah kunjungan dari salah satu calon bupati di Muaro Jambi. Wilayah itu memang sudah di luar Kabupaten Muaro Jambi, tetapi sering kali diklaim karena letaknya yang berbatasan wilayah.
Menjelang Pilkada Batanghari dan Muaro Jambi, suara Rusman dan komunitas Bathin IX menjadi sumbangan berarti. Di kelompok itu ada 53 keluarga berdiam di tengah hutan. Warga berusia di atas 17 tahun berjumlah lebih dari 100 orang. Cukup berpotensi menyumbangkan suara politik.
Terlupakan
Setelah masa pemilihan berakhir dan calon terkait menang, kehangatan para pejabat politik pun berakhir. Keberadaan komunitas adat itu kembali terlupakan. ”Kami sepertinya memang tidak diakui sebagai warga negara karena hidupnya di dalam rimbo (hutan),” ujar Mida, warga setempat.
Padahal, masyarakat Bathin IX turun-temurun menyandarkan kehidupan di tengah hutan. Mereka memanfaatkan sumber daya yang ada. Memanen getah damar, mengolah rotan, hingga memanfaatkan madu dari pohon sialang. Sebagian pun masih berburu babi dan rusa sebagai sumber protein sehari-hari.
Mereka juga hidup mengembara untuk mencapai lokasi baru berladang. Sekilas kehidupan kelompok ini mirip dengan Orang-orang Rimba di Bukit Duabelas, Jambi. Bedanya, Orang Rimba mengembara untuk meninggalkan tempat semula karena adanya kedukaan.
Pengakuan formal negara terhadap komunitas Bathin IX sebenarnya sudah sejak lama disuarakan. Sebagian kelompok di komunitas ini pun berulang kali menggelar unjuk rasa. Tahun 2014, masyarakat menginap dan berunjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Jambi. Saat itu, warga memprotes terjadinya penggusuran pondokan mereka oleh aparat penegak hukum.
Berbondong-bondong mereka mengadu ke sejumlah instansi pemerintahan di tingkat Provinsi Jambi. Sebab, di tingkat kabupaten suara mereka tak didengar. ”Kalau piawang memecah rimbo, rajo melebur undang” demikian pepatah adat Bathin IX yang meyakini bahwa jika pemimpin daerah telah dianggap melanggar aturan, tidak melindungi warganya, maka raja alias gubernur yang kemudian bertanggung jawab melindungi. Dalam hal ini, warga memohon gubernur untuk turun tangan.
Meski masih memegang aturan adat, masyarakat Bathin IX tetap mengakui keberadaan negara. Mereka pun berharap negara melindungi keberadaan komunitas yang sejak nenek moyangnya hidup bersandar pada alam rimba.
Jangan sampai para calon pemimpin tampak manis di muka, tetapi lupa kemudian. Jika pengabaian itu terus berulang, bisa lenyaplah rasa hormat warga. Pepatah Bathin IX menyebutkan, ”Rajo benar, Rajo disembah. Rajo ingkar, Rajo kita sanggah”. Pepatah ini dimaknai, jika pemimpin daerah mengingkari tanggung jawabnya, masyarakat tidak akan lagi mendukung.