Datang dengan Modal 20 Dollar, Imigran Ini Sukses di AS
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·4 menit baca
Dalam balutan suhu 14 derajat celsius, Sam Yono bersama istrinya, Muntaha Yono, menyambut rombongan dari Indonesia dengan senyum hangat di kediaman mereka di tepi Danau Cass, Waterford, Negara Bagian Michigan, Amerika Serikat, Minggu (9/9/2018) siang. Keluarga imigran asal Irak itu mengundang makan siang dan berbagi cerita tentang Indonesia.
Mereka lalu mengajak turun ke lantai dasar. Aroma bumbu dapur kaya rempah langsung menyapa lapar saat masih menuruni anak tangga. Aroma itu menyembur sari hidangan makanan pembuka tersaji di atas meja tepat lima langkah selesai menuruni tangga. ”Beberapa olahan dicampur dengan minyak zaitun. Ini masakan ala Timur Tengah,” ujar Sam memperkenalkan masakan istrinya sekaligus memulai perbincangan hangat di meja makan.
Rombongan dari Indonesia dimaksud adalah peserta International Visitor Leadership Program bertema ”Maritime Crime”. International Visitor Leadership Program merupakan program pertukaran paling bergengsi yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Sam lahir dan tumbuh hingga remaja di Irak. Setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah 50 tahun silam, ia memilih bermigrasi ke AS untuk melanjutkan kuliah pada jurusan teknik mesin otomotif. Ia memang bercita-cita menjadi insinyur. Ia terbilang merantau dengan modal nekat. Pemuda berumur 16 tahun itu ke AS hanya dengan modal 20 dollar AS.
Namun, setelah tamat, ia malah menjadi pebisnis. Berkat kerja kerasnya, Sam memiliki 30 tempat usaha meliputi restoran dan pusat perbelanjaan di sejumlah negara bagian. Selain Michigan, juga di Chicago, Illinois, hingga investasi di sejumlah negara di Timur Tengah. Khusus di AS, ia mempekerjakan sekitar 300 orang di restoran dan tempat perbelanjaan. Kini, ia menjelma jadi salah satu imigran asal Timur Tengah yang sukses di AS.
Rumahnya berukuran sekitar 900 meter persegi dengan tiga lantai dan tergolong paling mewah di kompleks yang dijangkau dalam waktu tempuh sekitar 45 menit dari Detroit, ibu kota Michigan, itu. Dari hasil pelacakan di mesin pencarian, harga jual rumah itu sekitar 2,7 juta dollar AS atau setara dengan Rp 40 miliar. Ia memiliki beberapa rumah lagi di kota lain.
Sam dan Muntaha yang juga keturunan Irak itu dikaruniai tujuh anak dan 20 cucu. Semua anaknya memiliki usaha sendiri-sendiri dan mempekerjakan banyak orang di AS. ”Semua ini diraih dengan kerja keras dan dukungan dari keluarga. Awalnya saya tidak menyangka bisa seperti ini, apalagi saya seorang imigran,” ujar Sam.
Sam mewakili imigran yang sukses di AS. Ia ikut membantu memajukan perekonomian di AS, salah satunya lewat penyediaan lapangan kerja. Sebanyak 300 orang menggantungkan hidup pada usahanya. Itu belum termasuk orang-orang yang bekerja pada perusahaan milik anak-anaknya.
Namun, di era kepemimpinan Presiden AS Donald Trump, ada kebijakan pengetatan imigran. Trump menganggap imigran adalah masalah. Sam yang mengaku punya relasi bisnis dengan Trump itu tidak setuju dengan pandangan Trump yang melarang imigran.
”Sekarang mau cari tukang potong rumput saja susah. Tukang potong rumput itu kebanyakan dari Meksiko. Di sini Trump salah. Saya dekat dengan Trump. Kami beberapa kali bertemu,” kata Sam sambil menunjukkan bukti foto dirinya berpose dengan Trump.
Dari temuan Kompas selama mengunjungi empat empat kota di AS, yakni Washington, Boston, Detroit, dan Honolulu, banyak imigran yang bekerja sebagai pelayan di hotel hingga petugas kebersihan di jalan. Mereka merasakan dampak pengetatan itu. ”Teman-teman kami ingin bekerja di Amerika secara legal, tetapi belum bisa. Padahal, banyak tempat di sini membutuhkan pekerja dari kami,” kata seorang petugas kebersihan asal Meksiko di Washington.
Meski demikian, petugas itu mengakui tingkah buruk imigran yang meresahkan masyarakat dan Pemerintah AS. Ada imigran yang masuk secara gelap lewat perbatasan dengan AS seperti Meksiko. Ada juga warga negara asing yang masuk menggunakan wisata kunjungan, kemudian menyalahgunakan visa, bahkan melakukan tindakan kejahatan di AS. Perilaku semacam itu yang membuat Pemerintah AS melakukan pengetatan.
Jurnalis senior sekaligus analis politik AS, David Ruffin, berpendapat, kebijakan suatu negara bisa berubah-ubah bergantung pada situasi global ataupun negara itu sendiri. Ada saatnya suatu negara aktif merespons dinamika global dan mengurangi keterlibatan di kancah dunia. Ini merupakan dinamika yang biasa bagi AS. Sebelum Perang Dunia I, AS merupakan negara individualis.