BANDUNG, KOMPAS Perubahan iklim esktrem berpotensi memicu bencana besar di Indonesia. Inovasi pemantauan cuaca dan iklim yang cepat dan akurat mutlak sebagai peringatan awal untuk meminimalisir dampaknya bagi kehidupan manusia.
Saat ini, dinamika dan kondisi meteorologi Indonesia sangat kompleks. Oleh karena itu, kemampuan memprediksi cuaca secara akurat sangatlah diperlukan. "Untuk menghindari bencana," kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam International Conference on Tropical Meteorology and Atmospheric Science di Institut Teknologi Bandung (ITB), Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (19/9/2018). Seminar itu hasil kolaborasi ITB dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Sebanyak 160 pembicara dari sejumlah negara hadir memaparkan hasil penelitiannya. Selain Indonesia, peneliti itu berasal dari Jepang, Malaysia, China, Filipina, hingga India.
Dwikorita berujar, dalam beberapa dekade terakhir perubahan iklim terjadi begitu cepat. Indonesia, salah satu negara maritim yang dilalui khatulistiwa, berpotensi besar terkena imbas perubahan ini. Beberapa anomali, seperti El Nino dan La Nina menyebabkan perubahan pola musim. Indonesia mengalami kemarau basah akibat hangatnya perairan Indonesia.
Bahkan, Indonesia mulai dilanda beberapa siklon atau badai tropis yang berdekatan dalam beberapa waktu terakhir. Salah satunya siklon tropis dua kali pada November 2017, yaitu Cempaka di perairan selatan Jawa dan Dahlia di perairan selatan Bengkulu. Sebelum itu, tutur Dwikorita, terjadi juga siklon tropis Bakung di perairan barat daya Sumatera pada 2014.
“Bila terus dibiarkan tanpa persiapan maksimal, fenomena alam itu rentan memengaruhi kondisi pangan hingga memakan korban jiwa. Indonesia perlu kecepatan tinggi berinovasi. Kuncinya pengembangan riset atmosfer agar bertahan menghadapi perubahan ini. Inovasi atau mati,” ujarnya.
Direktur Riset, Pengembangan Teknologi dan Industri Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Hotmatua Daulay sepakat dengan Dwikorita. Lembaga-lembaga riset dan insentif dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan para klien.
“Akan tetapi, riset ini butuh komitmen dari lembaga-lembaga atau institusi yang bersangkutan untuk menjadi pengguna dengan membeli alat tersebut,” ujarnya.
Masih impor
Dwikorita menyatakan, pengamatan perubahan iklim dan cuaca ekstrem membutuhkan kecepatan analisis untuk memprediksi dampak ataupun kerusakan. Kemandirian dalam teknologi dibutuhkan untuk bergerak efektif dan efisien.
Saat ini, hampir seluruh komponen yang dimiliki BMKG masih impor. Padahal, mereka perlu teknologi modern terkini. "Lebih baik menggunakan produksi anak bangsa. Selain lebih cepat karena tidak perlu menunggu kiriman, inovasi ini juga meningkatkan kesejahteraan perusahaan lokal,” ujarnya.
Inovasi di dalam negeri juga akan berdampak pada kemandirian dan perkembangan kapasitas.
Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) Thomas Jamaluddin mengatakan, perubahan iklim ini menarik untuk dikaji karena berdampak langsung terhadap kehidupan. Tidak hanya kelainan pada musim, badai-badai tropis besar mulai timbul akhir-akhir ini. Bukan tidak mungkin, kondisi serupa bakal melanda Indonesia.
“Barangkali kondisi ekstrem ini terjadi karena perubahan iklim. Topan super kuat pun muncul, seperti topan Kyoto di Jepang, Florence di Amerika, dan topan Mangkhut yang melanda Filipina, Hongkong, dan China,” ujarnya.