JAKARTA, KOMPAS — Permintaan beton pracetak atau precast diperkirakan terus tumbuh seiring semakin banyaknya proyek pembangunan infrastruktur Tanah Air. Tahun depan kontribusi beton pracetak untuk infrastruktur diproyeksikan naik 30 persen dari total kebutuhan atau setara 41 juta ton.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pracetak dan Prategang Indonesia (AP3I) Wilfred A Singkali mengatakan, hingga akhir tahun ini, permintaan beton pracetak akan mencapai 37 juta ton. Dengan selisih yang relatif kecil, target tahun depan diperkirakan bisa tercapai.
”Tahun depan kapasitas produksi precast akan kami tingkatkan meski sebenarnya secara alami kapasitas itu akan terus bertumbuh karena didukung perkembangan teknologi,” kata Wilfred di sela-sela pameran Concrete Show South East Asia 2018 dan Construction Indonesia 2018 di Jakarta, Rabu (19/9/2018).
Menurut Wilfred, penambahan kapasitas produksi memerlukan investasi yang jumlahnya tergantung setiap perusahaan pracetak. Selain itu, penambahan produksi juga terjadi seiring dengan penggantian alat atau ketika hendak mengadopsi sebuah teknologi baru. Melihat kemampuan perusahaan pracetak di Indonesia, Wilfred meyakini target kontribusi beton pracetak sebanyak 41 juta ton pada 2019 akan dipenuhi.
Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Hermanto Dardak mengatakan, penggunaan beton pracetak telah berkembang pesat. Dengan menggunakan beton pracetak, kualitas beton bisa lebih terjamin dan akan mempercepat proses konstruksi karena dilakukan di lokasi berbeda.
Ke depan, menurut Hermanto, arah dunia konstruksi adalah memerlukan beton pracetak yang kuat tetapi sekaligus mudah dipasang di lapangan. Dengan demikian, konstruksi sebuah infrastruktur akan bisa dijalankan dengan lebih cepat. Misalnya, saat ini sudah mulai banyak digunakan karbon dalam campuran membuat beton sehingga lebih ringan tetapi tetap kuat.
Terlebih, saat ini di Indonesia tengah dikembangkan kawasan berbasis transit (transit oriented development/TOD). Konsep tersebut memerlukan dukungan beton pracetak yang bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut. ”Hari-hari ini tuntutan untuk membangun jembatan panjang dan bangunan tinggi sudah tidak terhindarkan. Praktis kebutuhan itu bisa disediakaan lewat precast,” ujar Hermanto.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Lukman Hakim mengatakan, masifnya pembangunan infrastruktur memang memerlukan material konstruksi yang besar, terutama beton. Keunggulannya, banyak tersedia, mudah dibentuk, dan tahan terhadap suhu tinggi. Namun, ke depan material konstruksi dituntut untuk lebih ramah lingkungan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR Yaya Supriyatna menambahkan, pasar konstruksi di Indonesia hingga akhir tahun lalu mencapai Rp 450 triliun. Sementara sumbangannya terhadap produk domestik bruto mencapai 9 persen. Jika ada penundaan pembangunan infrastruktur, kemungkinan besar akan berdampak pada menurunnya kontribusi sektor konstruksi terhadap PDB.