Kuil Abad Ke-6 Masehi Dikelilingi Butik Mewah Eropa
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Peninggalan sejarah bisa menjadi magnet pengembangan pusat perbelanjaan mewah di China. Setidaknya, di kawasan Jinjiang, kota Cheng Du, Provinsi Sichuan, di sekitar Kuil Daci yang dibangun abad ke-6 Masehi, berbagai butik mewah dunia dibangun mengelilingi obyek wisata sejarah sekaligus memadukan kemewahan barat dan eksotisme dunia timur.
Kompas berkunjung ke kawasan butik di sekitar Kuil Daci yang masih digunakan oleh umat Buddha, Rabu (8/8/2018), ditemani Adi Wirawan Tjahjono yang 10 tahun tinggal di Sichuan. Pemandangan unik tampak di depan mata saat memasuki kawasan Jinjiang di sekitar Gerbang Barat (Xi Guang Chang), terdapat lapangan kecil dan kolam dangkal mengelilingi bangunan kuno bekas gedung Persatuan Pedagang Guangdong yang diapit beragam butik arloji Omega, Longines, Gucci, toko ponsel mewah Virtu, dan kedai kopi Starbucks.
Ini hebatnya mereka bisa menggabungkan bangunan bersejarah dan pusat perdagangan modern.
Sekitar 100 meter di timur, di lapangan Gerbang Timur (Dong Guang Chang) terdapat Kuil Rui Dong yang diapit apartemen Temple House, butik Zara, Swarovski, dan Marimeko. Di sebelah barat laut Kuil Rui Dong, hanya berjarak 40 meter, terletak Kuil Daci yang dibatasi taman Donghai.
”Ini hebatnya mereka bisa menggabungkan bangunan bersejarah dan pusat perdagangan modern,” kata Adi Wirawan menceritakan kompleks yang mulai dikembangkan tahun 2012 itu selepas bencana gempa Sichuan yang menghancurkan kota Chengdu tahun 2008.
Selain butik yang mengapit Gerbang Barat, Timur, dan Kuil Daci, sejumlah pertokoan mewah juga tumbuh menjulang di kawasan tersebut. Di antara Gerbang Barat dan Gerbang Timur terdapat beragam butik, yakni Boss, Kent & Curwen, Cerruti 1881, Furla, Diesel, MAX & Co, dan lain-lain. Hanya 40 meter dari lokasi tersebut, terdapat deretan butik lain di dekat Jalan Kangshi Utara, yakni Givenchy, Stella McCartney, Versace, Cartier, toko kamera Leica, dan Offerman.
Kemewahan dan eksotika bangunan bersejarah yang dipadu-padan di kawasan tersebut juga dilintasi jalur kereta bawah tanah (Di Die) jurusan barat-timur yang terletak tidak jauh dari lapangan di pusat kota Chengdu, yaitu Lapangan Tian Fu.
Adi pun mengajak melihat Kuil Daci yang di depannya terdapat kolam dangkal, air mancur, serta jalanan berlapis batu. Di dalam kuil terdapat ratusan pengunjung lalu lalang berbaur dengan warga yang beribadah, makan siang gratis (hidangan vegetarian), dan rombongan biksuni (biarawati) yang beraktivitas di dalam Kuil Daci yang dibangun ulang pada 1650-an atau di zaman Dinasi Qing. Adi pernah mencoba bersantap di Kuil Daci bersama pengunjung di jam makan siang.
Di salah satu sudut kuil dibuka toko cendera mata barang-barang kerajinan berupa sulaman sutra dan aneka kain, selendang, kipas, partisi, dan berbagai pernak-pernik mewah dari bahan baku sutra yang halus. Seorang penjaga toko dengan ramah menyapa pengunjung yang masuk melihat-lihat barang yang dipamerkan.
Di salah satu sudut ruangan, seorang perempuan muda dengan sabar menyulam kipas dan kain sutra di sebuah meja mengikuti pola yang dibentuk bergambar pemandangan dan hewan serta keindahan fauna di China. Beragam barang kerajinan tangan tersebut dijual dengan harga 300 RMB (sekitar Rp 630.000) hingga 4.000-5.000 RMB (Rp 8,4 juta-Rp 11 juta).
Pada bagian belakang Kuil Daci terdapat taman indah dengan berbagai tanaman bonsai dan altar tempat ibadah. Di lapangan di belakang kuil juga diletakkan berbagai patung kartun menampilkan sosok biksu ukuran raksasa yang jenaka serta 12 rasi bintang dalam zodiak Tionghoa yang ditampilkan dalam bentuk kartun ala anime Jepang. Pengunjung pun berfoto di antara patung-patung yang lucu tersebut.
Adi kemudian mengajak penulis ke toko buku yang terletak di bawah tanah di dekat Kuil Daci, dengan menuruni tangga lebih kurang 10 meter ke dalam tanah. Sebuah toko buku besar dengan ruangan keseluruhan hampir 20 kali lapangan basket terdapat di bawah tanah di toko buku yang memiliki kafe, toko cendera mata, alat tulis, dan ratusan pengunjung yang mencari buku atau menghabiskan waktu membaca buku di sana. Bahkan, disediakan tatakan buku di tempat orang berdiri sambil bersandar agar dapat membaca buku dengan nyaman di dalam toko tersebut!
Sayang, tidak banyak waktu tersisa, sebetulnya Adi mengajak penulis mengunjungi Museum Arak Beras (Ciu) di kawasan tersebut. Lelah berkeliling, kami pun beristirahat di sebuah kedai teh di dalam pertokoan mewah kawasan tersebut. Poci teh, cawan-cawan, dan dandang berisi air panas menyambut pengunjung.
Siang itu, puluhan orang yang beristirahat makan siang atau menghabiskan waktu di musim panas bersantai di kedai teh sambil bercengkerama dengan teman atau pasangan, membaca buku, mengoperasikan laptop, dan lain-lain. Mereka menghabiskan waktu siang hari yang cerah di daerah pusat perbelanjaan yang dibangun di antara bangunan bersejarah.
PIK dan Jakarta
Presiden Direktur Pantai Indah Kapuk (PIK) Richard Kusuma mengakui, cara memadukan bangunan tua dengan mengembangkan kawasan komersial dan hunian seperti dilakukan di Chengdu sangatlah menarik.
”Saya pernah ke sana melihat langsung dan juga mengundang pengembang kawasan tersebut untuk melihat PIK dan Jakarta. Gagasan seperti pengembangan Chengdu dengan memadukan bangunan bersejarah dan area komersial modern itu juga menjadi inspirasi saya,” tutur Richard yang bertekad melestarikan alam dan bangunan bersejarah yang ada di sekitar kawasan pengembangan PIK.
Saat ini memang ada beberapa bangunan bersejarah ikonik seperti Rumah Majoor Tionghoa terakhir Batavia, Khouw Kim An yang menjadi gedung Candranaya di kawasan kota Jakarta, Museum Benteng Heritage di Pasar Lama, Tangerang, dan beberapa bangunan tua seperti kawasan Kota Tua Jakarta serta Pasar Baru yang seharusnya juga dapat dikembangkan dengan belajar dari pengalaman kota Chengdu memadukan masa lalu dengan masa sekarang.
Pelestarian dapat berjalan bersama dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan zaman.
(IWAN SANTOSA dari Kota Chengdu, Provinsi Sichuan, China)