Dampak dukungan kepala daerah ke kandidat tertentu di Pemilu 2019, terhadap pilihan warganya, ditentukan sejumlah faktor. Namun, sikap kepala daerah itu dapat mempengaruhi netralitas aparatur sipil negara.
JAKARTA, KOMPAS - Keputusan sejumlah kepala daerah untuk mendukung kandidat tertentu dalam Pemilihan Presiden 2019, berpotensi menambahkan tantangan dalam menjaga netralitas aparatur sipil negara. Pasalnya, loyalitas ASN terhadap kepala daerah cenderung tinggi.
“Setiap ASN harus netral dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada. Ada konsekuensi yang akan ditanggung jika ASN terbukti mengikuti arahan kepala daerah.,” kata Asisten Komisioner Bidang Pengaduan dan Penyelidikan Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN), di Jakarta, Rabu (19/9/2018).
Menurut Sumardi, netralitas ASN dalam pemilu dan pilkada merupakan keharusan dan telah diatur dalam sejumlah peraturan, seperti UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS, serta Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS.
Dalam upaya menjaga netralitas, ASN antara lain dilarang mengunggah gambar bersama dengan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di media sosial. ASN juga dilarang memberikan fasilitas berupa kendaraan dinas untuk mobilisasi kampanye atau menyetor sejumlah uang untuk kampanye. Sanksi untuk berbagai pelanggaran itu, bisa sampai pemberhentian dengan tidak hormat dari posisi di ASN.
Dukungan
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Suparno mengatakan, tim kampanye Prabowo Subianto– Sandiaga Uno konsisten tidak melibatkan kepala daerah ke dalam tim sukses. Sebab, hal itu berpotensi mengganggu netralitas dari ASN yang ada di daerahnya, karena ASN cenderung loyal kepada pimpinan.
Sementara itu, sejumlah kepala daerah dari Provinsi Sumatera Barat dan beberapa daerah lain menyatakan mendukung pasangan Joko Widodo-Ma\'ruf Amin di Pemilu 2019.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma\'ruf yaitu Abdul Kadir Karding, menilai dukungan sejumlah kepala daerah itu merupakan hal wajar karena kepala daerah merupakan pejabat politik. “Persoalan apakah dia mempengaruhi atau tidak kepada ASN, ada kode etik dan peraturannya,” katanya.
Eriko Sotarduga yang juga Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf menyatakan, dukungan dari para kepala daerah itu diharapkan dapat menjadi kekuatan pasangan Jokowi-Ma’ruf saat Pemilu 2019.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menilai, pengaruh dukungan kepala daerah terhadap kans kemenangan capres-cawapres bersifat relatif.
Pengalaman Pemilu 2014, lanjut Djayadi, memang menunjukkan adanya pengaruh dukungan kepala daerah terhadap kemenangan capres-cawapres yang ia dukung di wilayahnya. Namun, pemilih Indonesia juga cenderung semakin otonom dan mandiri dalam memilih.
Dalam kondisi seperti ini, tutur Djayadi, ketokohan kepala daerah akan menentukan seberapa besar pengaruh dari dukungan yang dia berikan kepada capres-cawapres tertentu.
Djayadi mencontohkan hasil exit poll SMRC pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2018 menunjukkan, 51,2 persen pendukung Ridwan Kamil ternyata pendukung Prabowo. “Jadi, belum tentu kalau Ridwan Kamil mengatakan memilih Jokowi, mereka akan ikut,” paparnya.
Namun, lanjut Djayadi, kondisi berbeda bisa terjadi terkait sikap politik mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi dengan pilihan politik warga daerah itu. Ini karena ketokohan Zainul Majdi cukup kuat di daerahnya.