JAKARTA, KOMPAS Upaya pemerintah menutup defisit dana jaminan sosial dengan memanfaatkan pajak rokok daerah disayangkan sejumlah pihak. Langkah ini dinilai kian mengurangi dukungan anggaran untuk promotif dan preventif kesehatan sehingga dalam jangka panjang upaya untuk mencegah masyarakat jatuh sakit menjadi tidak optimal.
Selama ini upaya kesehatan masyarakat melalui kegiatan promotif dan preventif kurang mendapat dukungan penganggaran. Adanya pajak rokok menjadi sumber pendanaan upaya kesehatan masyarakat bagi daerah. Upaya kesehatan masyarakat yang kuat diharapkan bisa mencegah masyarakat jatuh sakit yang ujungnya membebani pembiayaan.
Ketua terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Ede Surya Darmawan, Rabu (19/9/2018), di Jakarta mengatakan, pihaknya mengapresiasi pemerintah yang memberikan bantuan untuk menutupi kekurangan dana jaminan sosial. Namun, jalan keluar yang diambil sebaiknya lebih sistemis.
Semula, kata Ede, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2016, pajak rokok daerah digunakan untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat yang lebih pada aspek promotif dan preventif, bukan kuratif.
Kegiatan yang bisa didanai pajak rokok meliputi penurunan faktor risiko penyakit menular, penyakit tidak menular, termasuk imunisasi, peningkatan promosi kesehatan, kesehatan keluarga, gizi, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja, dan olahraga. Pajak rokok juga dipakai untuk pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau lainnya serta pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Namun, ketentuan penggunaan pajak rokok itu kemudian diubah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2017. Dalam peraturan menteri kesehatan ini dinyatakan bahwa pajak rokok juga dipakai untuk pendanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang besarnya 75 persen dari alokasi pelayanan kesehatan.
Tidak berimbang
Upaya kesehatan menjadi tidak berimbang. Upaya kesehatan perorangan yang sifatnya kuratif lebih besar dukungannya dibandingkan dengan upaya kesehatan masyarakat yang sifatnya promotif preventif.
Dana promotif preventif memang juga tersedia dari bantuan operasional kesehatan dan dana alokasi khusus nonfisik. Namun, selama ini puskesmas terlalu disibukkan dengan melayani peserta JKN yang berobat.
Hal yang membuat Edekhawatir dari kebijakan pemerintah ini adalah membuat masyarakat berpikir bahwa perokok berjasa dalam membantu program JKN. ”Jangan-jangan nanti perokok bertambah banyak karena merasa berjasa. Padahal, biaya atas penyakit terkait rokok yang selama ini membebani JKN,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Dinas Kesehatan Krishnajaya mengatakan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional, pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang publik (public goods) yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sementara pembiayaan upaya kesehatan perorangan lebih bersifat privat, kecuali untuk masyarakat miskin dan tak mampu dibiayai negara.
Dinas kesehatan di daerah telah membuat perencanaan kegiatan upaya kesehatan masyarakat memanfaatkan pajak rokok. Sekarang, tiba-tiba pajak rokok dipotong untuk upaya kesehatan perorangan.
”Dinas kesehatan mengeluh, kok bisa begini. Upaya kesehatan kembali dikorbankan lagi. Sebagai pelaksana di daerah, dinas kesehatan tidak berdaya,” ujar Krishnajaya.
Krishnajaya berharap pemerintah mengatasi defisit program JKN dengan menyelesaikan akar masalahnya. Pasti ada cara lain menyelamatkan keberlanjutan program JKN selain mengambil dana upaya kesehatan masyarakat untuk upaya kesehatan perorangan.
Peraturan presiden
Presiden Joko Widodo di Istana Negara menyampaikan telah menandatangani peraturan presiden tentang JKN. Inti perpres tersebut adalah upaya perbaikan program JKN, termasuk bagaimana mengatasi defisit dana jaminan sosial. Harapannya, pelayanan kesehatan kepada masyarakat makin baik.
Terkait defisit, Pasal 100 perpres itu menyatakan bahwa 75 persen dari realisasi penerimaan pajak rokok daerah dipotong langsung oleh pemerintah pusat sebagai kontribusi bagi pendanaan program JKN.
Pajak rokok adalah hasil pungutan atas cukai rokok yang dipungut pemerintah pusat. Daerah mendapatkan bagi hasil atas penerimaan pajak rokok.
Mengacu Pasal 31 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, minimal 50 persen dari pajak rokok harus dialokasikan untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Dana inilah yang atas dasar peraturan presiden yang baru dipotong sebesar 75 persen untuk dipindahbukukan ke rekening BPJS Kesehatan.
”Apa pun, yang namanya pelayanan kesehatan untuk masyarakat harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, defisit itu sebagian ditutup dari pajak rokok,” kata Presiden.
Di Banyuwangi, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai perlu ada redesain program BPJS Kesehatan. Selain itu, berbagai langkah, termasuk efisiensi dan mencari sumber dana, juga terus dilakukan untuk menekan defisit BPJS Kesehatan.
”Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, persatuan rumah sakit, pemerintah daerah, dan organisasi profesi dokter harus bertemu untuk bersama-sama mendesain kembali BPJS. Hal itu perlu dilakukan agar BPJS bisa berkelanjutan hingga jangka menengah, bahkan jangka panjang,” ujarnya.