Penguasaan Tanah yang Timpang Picu Berbagai Masalah
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Penguasaan tanah di Indonesia masih timpang karena hanya dikuasai segelintir orang dan banyak yang dikonversi untuk investasi. Kondisi itu memicu berbagai masalah sosial dan ekonomi di masyarakat, termasuk konflik horizontal. Petani pun beralih pekerjaan ke sektor lain.
”Sekitar 70 persen aset nasional yang rata-rata tanah dikuasai oleh sekitar 2 persen masyarakat. Artinya, ada monopoli aset di sana. Sementara 30 persen aset lainnya dikuasai 98 persen masyarakat, termasuk para petani,” kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika, Kamis (20/9/2018) di Jakarta.
Konversi lahan dilakukan untuk berbagai kepentingan, antara lain kepentingan investasi perkebunan dan pertambangan skala besar di daerah. Laju konversi lahan mencapai 120.000 hektar per tahun.
Akses masyarakat terhadap tanah menjadi hilang. Para petani juga akhirnya alih profesi ke pekerjaan lain, misalnya menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri dan menjadi buruh di perkebunan.
”Akhirnya rumah tangga petani hilang. Setiap menit ada satu rumah tangga petani beralih profesi ke pekerjaan lain. Dalam setiap menit pula, ada 0,25 hektar tanah petani yang dikonversi untuk berbagai kepentingan,” ungkap Dewi.
Selain memicu beralihnya petani ke pekerjaan lain, hal itu juga memicu kemiskinan di perdesaan masih lebih besar. Hutan di berbagai wilayah dibuka untuk investasi. Akses sumber daya alam pun menjadi timpang.
Bahkan, lebih jauh lagi, jika ketimpangan kepemilikan tanah akibat konversi lahan masih berlanjut, dalam jangka panjang bisa memicu konflik horizontal. Sebab, biasanya ada pihak tertentu justru membenturkan antara masyarakat dan masyarakat bukan masyarakat dan korporasi.
Maka, pemerintah hendaknya konsisten menjalankan redistribusi tanah kepada masyarakat miskin secara konkret. Namun, yang terjadi redistribusi tanah itu belum menyasar isu ketimpangan penguasaan aset. Tanah-tanah yang menjadi izin hak guna usaha juga hendaknya ditinjau ulang.
Potret kesejahteraan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kalbar, setiap tahun jumlah penduduk miskin di desa masih lebih tinggi daripada di perkotaan. Padahal, investasi dilakukan di daerah pedalaman.
Kemiskinan Maret 2017 di perkotaan 76.160 jiwa, sedangkan di desa mencapai 311.270 jiwa. Pada Maret 2018 kemiskinan di perkotaan 84.520 jiwa dan di desa mencapai 302.560 jiwa.
Ketimpangan di Kalbar juga cenderung meningkat. Maret 2017 gini rasio Kalbar 0,327 dan September 2017 menjadi 0,329. Kemudian, pada Maret 2018 meningkat lagi menjadi 0,339.
Rasio gini di Kalbar berpotensi tinggi karena perekonomiannya berbasis komoditas pertambangan dan perkebunan. Pihak yang mendapatkan keuntungan jika harga komoditas mengalami booming adalah para pemilik konsesi yang tinggal di luar Kalbar.
Tak hanya itu, indeks keparahan kemiskinan juga meningkat. Pada September 2017 sebesar 0,208, sedangkan Maret 2018 sebesar 0,279. Demikian juga dengan indeks kedalaman kemiskinan Kalbar meningkat. Pada September 2017 sebesar 1,022 dan Maret 2018 mencapai 1,184. Indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan semakin banyak orang miskin yang kian jauh dari garis kemiskinan.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan, masyarakat masih diperlakukan sebagai obyek pembangunan hingga kini.
Ketika tanah-tanah masyarakat dikonversi menjadi perkebunan, potret kemiskinan itu terjadi. Daerah di sekitar konsesi malah menjadi lumbung kemiskinan karena akses terhadap sumber daya alam timpang.