JAKARTA, KOMPAS – Industri perkebunan kelapa sawit dan bubur kertas dinilai sebagai penyumbang kerusakan hutan terbesar yang menyebabkan deforestasi seluas 130.000 hektar kawasan hutan di Indonesia sejak akhir 2015. Greenpeace Internasional menilai, praktik deforestasi atau penggundulan hutan ini dilakukan oleh 25 grup industri kelapa sawit.
Industri-industri itu dinilai gagal memenuhi kebijakan tanpa deforestasi, tanpa gambut, tanpa eksploitasi (no deforestation, no peat, no exploitation/NDPE). Mereka, kata Senior Kampanye Hutan Greenpeace Annisa Rahmawati, di Jakarta, Rabu (19/9/2019), masih mendapatkan minyak sawit dari kelompok-kelompok perusahaan yang menghancurkan hutan dan menyerobot lahan dari komunitas lokal.
”Minyak sawit dapat diproduksi tanpa merusak hutan. Namun, investigasi kami menunjukkan bahwa perdagangan minyak sawit masih terkontaminasi sepenuhnya dengan perusakan hutan,” kata Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia Kiki Taufik. Pasokan minyak sawit industri-industri itu digunakan untuk merek-merek produk terbesar dunia.
Berdasarkan investigasi Greenpeace, satu dari 25 industri tersebut adalah Wilmar. Pada akhir 2017, area tanam kelapa sawit Wilmar seluas 239.935 hektar di Indonesia (68 persen), Malaysia (24 persen), dan Afrika (8 persen). Perkebunan Wilmar di Indonesia berada di Sumatera, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
Menuju Papua
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sekitar 24 juta hektar hutan hujan negara dihancurkan pada periode 1990-2015. Pada 2015-2017 kehilangan 1,6 juta hektar lebih atau sekitar seperlima (19 persen) dari deforestasi Indonesia terjadi di konsesi kelapa sawit.
Setelah deforestasi di Pulau Sumatera dan Kalimantan, industri kelapa sawit sekarang bergerak menuju hutan hujan Papua. Kiki mengatakan, saat ini industri kelapa sawit bergerak masuk dan menggunduli hutan Papua dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.
“Jika kita tidak menghentikan mereka, maka hutan Papua yang indah akan dihancurkan untuk kelapa sawit seperti di Sumatera dan Kalimantan,” katanya.
Dalam penyelidikan terbaru Greenpeace Internasional mengungkapkan, sejumlah perusahaan pemasok minyak sawit telah menghancurkan area hutan seluas 51.600 hektar atau 40 persen deforestasi di Papua.
Berkelanjutan
Wilmar melalui tanggapan resminya menyatakan kekecewaan atas tuduhan Greenpeace. Perusahaan ini menyatakan sedang bersungguh-sungguh mendorong pembangunan kelapa sawit yang berkelanjutan. ”Greenpeace tidak pernah melakukan konfirmasi kepada Wilmar sebelum menerbitkan laporan terbarunya sehingga kami tidak memiliki peluang untuk menggunakan hak jawab kami,” demikian tanggapan Wilmar.
Sejak Desember 2013, perusahaan multinasional ini membuat komitmen untuk melaksanakan praktik berkelanjutan dan transformasi percepatan dalam industri kelapa sawit dengan menjadi yang pertama memiliki kebijakan NDPE. Kebijakan NDPE ini diberlakukan untuk seluruh rantai pasok Wilmar di dunia, termasuk joint ventures dan pemasok pihak ketiga.
Wilmar menyatakan sedang menjalankan program verifikasi Supplier Group Compliance (SGC) yang diluncurkan pada Desember 2013 melalui bantuan Aidenvironment Asia. Dalam program ini, Wilmar mengawasi 11 juta hektar, meliputi 117 grup yang mewakili lebih kurang 1.500 perkebunan kecil dan sekitar 500 pabrik kelapa sawit di Malaysia, Indonesia, dan Papua Niugini.
“Dengan lebih dari 1.000 pemasok langsung pada rantai pasok kami, kami telah menginvestasikan sumber daya terbaik kami dalam mengembangkan perluasan program ini melalui sosialisasi dan implementasi kebijakan NDPE pada seluruh rantai pasok Wilmar,” demikian pernyataan Wilmar.
Publikasi peta konsesi
Seperti anggota Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) lain, Wilmar telah mempublikasikan peta konsesi semua entitas dan anak perusahaan melalui platform yang disiapkan oleh RSPO dan Global Forest Watch.
Berdasarkan laporan bulanan monitoring SGC yang diterima Wilmar dari Aidenvironment, Wilmar memiliki akses ke peta dan informasi geospatial dari pemasoknya melalui platform Webgis milik Aidenvironment. Juga data dari pemasok internal Wilmar yang didapatkan saat proses due diligence.
Webgis merupakan platform milik Aidenvironment dan dirancang dapat diakses oleh Wilmar untuk keperluan internal. Wilmar memanfaatkan data yang didapat dari platform ini untuk menjalankan monitoring pemasok.
Publikasi peta ini tidak dimungkinkan karena keseluruhan data merupakan milik dari Aidenvironment. Selain itu, karena terkait dengan aspek legalitas, Wilmar tidak berhak membagikan peta dari pihak ketiga tanpa persetujuan dari pihak-pihak tersebut.
Lebih lanjut, Wilmar secara aktif mendorong seluruh pemasok resminya secara sukarela mempublikasikan peta konsesi mereka kepada publik, baik lewat the WRI – Global Forest Watch platform, atau melalui situs mereka masing-masing.
Penghentian kerja sama
Wilmar telah menghentikan kerja sama dengan 16 pemasok di level grup. Ini karena pemasok itu gagal dalam melakukan perbaikan terhadap kebijakan mereka terkait dengan komitmen NDPE.
Hal ini telah mengakibatkan kehilangan lebih dari 1 juta MT (metrikton) total suplai sawit dari operasi Wilmar di seluruh dunia. Namun demikian, Wilmar menyatakan tetap berkomitmen untuk tetap mempertahankan jumlah tersebut.
Rincian volume yang hilang karena penghentian kerja sama ini, hanya sekitar 10 persen merupakan pemasok resmi Wilmar. Sedangkan 90 persen sisanya merupakan pemasok tidak langsung yang tidak pernah menjalin kerjasama dengan Wilmar.
Untuk mengatasi tantangan dalam mempercepat pelaksanaan kebijakan keberlanjutan NDPE, Wilmar akan bekerja sama dengan The Forest Trust (TFT). Detil rencana aksi yang akan kami luncurkan pada 30 September 2018.