Remaja Jadi Tumpuan untuk Capai Penduduk Seimbang

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN

Seorang remaja dan seorang perempuan mengamati poster mengenai kesehatan reproduksi di acara Gebyar 1001 Poster di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, Minggu (24/11/2013). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ini  diikuti ratusan ramaja dari seluruh penjuru Tanah Air.

Remaja perlu dilibatkan dalam perencanaan pembangunan. Merekalah yang nantinya menentukan nasib negara. Keterlibatan mereka harus dimulai sejak dini.

KUTA, KOMPAS – Remaja menjadi tumpuan utama untuk menjaga penduduk tumbuh seimbang setelah tahun 2020. Di masa mendatang, remaja itulah yang akan jadi dewasa dan berkeluarga hingga menentukan masa depan negara. Karena itu, remaja harus disiapkan dari sekarang agar menjadi penduduk yang produktif dan berkualitas.

“Investasi penduduk harus dilakukan secara besar-besaran sejak mereka masih remaja dan harus dilakukan mulai sekarang,” kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) M Yani di sela-sela Konferensi Internasional Tingkat Menteri dalam Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular di Kuta, Bali, Selasa (19/9/2018).

Hal itu berarti untuk mencapai target penduduk tumbuh seimbang dengan tingkat fertilitas atau jumlah anak per perempuan usia subur (TFR) mencapai 2,1 anak, harus dilakukan jauh sebelum mereka menikah atau berkeluarga. TFR nasional Indonesia pada 2017 mencapai 2,4, tetapi di sejumlah provinsi, TFR-nya sudah lebih rendah dari 2.

Untuk mencapai target penduduk tumbuh seimbang dengan tingkat fertilitas mencapai 2,1 anak, harus dilakukan jauh sebelum mereka menikah atau berkeluarga.

Jika tingkat fertilitas masih tinggi, Indonesia akan sulit meningkatkan kualitas dan kesejahteraan penduduk. Sebaliknya, jika tren penurunan fertilitas itu dibiarkan, Indonesia akan mengalami situasi yang dihadapi negara-negara maju saat ini yaitu melonjaknya jumlah penduduk senior dan melambatnya pertumbuhan penduduk produktif. Kedua kondisi itu sama-sama membebani ekonomi.

Situasi itu membuat peran remaja untuk menjaga penduduk tumbuh seimbang di masa depan jadi strategis. Indonesia pada 2016 memiliki 66,3 juta remaja berumur 10-24 tahun atau setara dengan jumlah penduduk Inggris Raya.

Sebagai fase peralihan dari anak menjadi dewasa, remaja akan mengalami lima transisi kehidupan yang harus dilalui, mulai dari melanjutkan pendidikan, bekerja, bersiap membentuk keluarga, terlibat dalam masyarakat serta mempraktikkan hidup bersih dan sehat. Perjalanan menjadi manusia dewasa itu tidak mudah dan banyak tantangan.

“Libatkan remaja dalam perencanaan pembangunan serta dukung, bebaskan dan arahkan mereka menggali potensinya tanpa diskriminasi dan menghakimi,” kata Nanda Rizka Saputri, Ketua Bidang Perencanaan dan Pembangunan Forum GenRe (Generasi Berencana) Indonesia. GenRe adalah program BKKBN untuk menyiapkan remaja menjadi generasi terencana sesuai siklus kehidupannya.

Tingkat pendidikan

Remaja Indonesia saat ini menghadapai situasi yang belum sepenuhnya mendukung mereka untuk tumbuh dan berkembang optimal. Salah satunya, tingkat pendidikan remaja belum memadai. Padahal, pendidikan jadi salah satu kunci pencegahan pernikahan dini, kematian ibu melahirkan, banyak anak hingga pembentukan keluarga yang tak terencana. Pendidikan yang rendah juga membuat mereka tak punya banyak pilihan bekerja sesuai minat dan potensinya.

Di sisi lain, fokus mengejar pendidikan dan karir bisa membuat remaja lupa membina keluarga dan bermasyarakat. Menikah dan memiliki anak memang pilihan, namun remaja perlu terus diingatkan pentingnya membangun keluarga guna menjaga regenerasi bangsa.

Karena itu, pembangunan keluarga perlu terencana. Calon pengantin harus disiapkan. Sayang, banyak remaja belum memahami itu. Pacaran hanya dianggap untuk menghindari tekanan sosial, bukan persiapan membangun keluarga. Bahkan, sebagian remaja menjadikan pacaran sebagai media memenuhi keingintahuan dan hasrat seksualnya saja.

Calon pengantin harus disiapkan. Sayang, banyak remaja belum memahami itu. Pacaran hanya dianggap untuk menghindari tekanan sosial, bukan persiapan membangun keluarga.

Meski pengetahuan seksual sebagian remaja sangat maju, pengetahuan mereka tentang kesehatan reproduksi justru sangat rendah.  Kuatnya penabuan soal seksualitas dan lemahnya komunikasi antara anak dan orangtua membuat informasi kesehatan reproduksi tak dipahami remaja. Akibatnya, remaja rentan terjebak perilaku seksual berisiko dan menyimpang serta menyebarkan penyakit seksual menular.

“GenRe selalu mengampanyekan no sex before marriage, tidak berhubungan seks diluar pernikahan,” tambah Nanda. Untuk mampu mengatakan itu, remaja perlu dilatih menjaga diri dan berani menolak ajakan hubungan seksual yang tidak sah.

Sementara itu, Direktur Bina Ketahanan Remaja BKKBN Eka Sulistia Ediningsih mengatakan, GenRe sebagai program BKKBN diharapkan jadi intervensi untuk menyiapkan remaja menjadi keluarga terencana di masa depan hingga target penduduk tumbuh seimbang dapat tercapai.

Namun, hal itu tidak bisa dilakukan BKKBN sendiri karena kompleksnya persoalan remaja. Pembangunan remaja lintas sektor itu harus dilakukan secara terkoordinasi hingga mereka benar-benar siap menghadapi lima transisi kehidupan menjadi dewasa.

“Keluarga dan masyarakat juga harus terlibat, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah,” katanya.