Sarwoko Martokoesoemo, Penggagas Monas yang Terlupakan
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Banyak yang mengira bahwa ide pendirian Tugu Nasional atau sekarang disebut Monumen Nasional berasal dari Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno. Namun, berdasarkan penelusuran sejarah, ide awal pendirian Monas justru berasal dari orang biasa yang namanya tak pernah disebut-sebut atau bahkan ditorehkan dalam prasasti. Ia adalah Sarwoko Martokoesoemo.
Mantan Walikota Jakarta Sudiro (1953-1060) dalam tulisannya di halaman 3 harian Kompas, Rabu, 18 Agustus 1971 dengan sangat tegas menyebutkan, ide pertama-tama pendirian Monas tidak muncul dari seorang presiden, menteri, pemimpin partai, pun tidak dari seorang walikota atau anggota DPR(D). “Yang memiliki ide pertama kali adalah seorang warga negara RI biasa, seorang swasta, warga kota sederhana dari Jakarta bernama Sarwoko Martokoesoemo,” kata Sudiro.
Sudiro telah mendengarkan kesaksian langsung dari Sarwoko, rekan lamanya di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) bahwa beberapa orang telah menyetujui idenya untuk membentuk “Panitia Tugu Nasional” yang akan mengupayakan pendirian sebuah tugu setinggi 45 meter di tengah-tengah Kota Jakarta. Sudiro yang saat itu menjabat sebagai Walikota Jakarta (jabatan setara dengan gubernur saat itu) sangat tertarik dengan rencana tersebut.
Sarwoko sangat memimpikan kota Jakarta memiliki simbol perjuangan bangsa sebagaimana dimiliki bangsa-bangsa lain. Simbol yang digagas itu dalam bentuk tugu (obelisk) dan sangat tepat bila ditempatkan di tengah-tengah lapangan Merdeka yang telah menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa.
Seperti halnya Walikota Jakarta, Presiden Soekarno juga sangat antusias mendukung gagasan itu. Ketika Soekarno menyampaikan hal ini kepada Bung Hatta, Bung Hatta juga sangat sepakat.
Maka, pada tanggal 17 September 1954 terbentuklah Panitia Tugu Nasional di rumah dinas Walikota Jakarta. Panitia itu terdiri dari tujuh orang. Sarwoko menjadi ketua dan Sudiro sebagai pembantu umum. Walikota Jakarta itu memilih jadi pembantu umum karena ia ingin kegiatan ini benar-benar muncul dari inisatif rakyat.
“Panitia itu kemudian menyelenggarakan sayembara desain bangunannya. Sayembara yang berlangsung pada 17 Februari 1955 itu ternyata mendapat sambutan antusias dari kalangan arsitek dan seniman. Ada 51 peserta, antara lain pelukis S Sudjojono dan arsitek Ir F Silaban. Hasilnya, hanya keluar pemenang kedua, karya Silaban,” kata Nunus Supardi, pemerhati budaya.
Setelah 5 tahun bekerja, Bung Karno menilai hasil kerja Panitia Tugu Nasional kurang memuaskan. Dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 214, tanggal 30 Agutus 1959, maka dibentuklah panitia baru dengan nama baru, yaitu Panitia Monumen Nasional (Monas).
Menurut Nunus, penggantian nama dari Panitia Tugu Nasional menjadi Panitia Monumen Nasional menunjukkan adanya perubahan konsep tentang Tunas (Tugu Nasional). Dijelaskan bahwa Monas mencerminkan jiwa perjuangan penegak semangat patrotik dan mempertinggi kemegahan revolusi kemerdekaan rakyat Indonesia.
Pembangunan Monas yang tiang pancangnya diresmikan 17 Agustus 1961 dipimpin langsung oleh Bung Karno sebagai ketua merangkap anggota panitia dan Panglima Kodam Jaya Kolonel Umar Wirahadikusuma sebagai Ketua Harian merangkap anggota. Karena belum puas dengan rancangan bangunan Monas karya Silaban, maka Bung Karno meminta bantuan Ir Soedarsono, Bung Karno untuk menuangkan ide-idenya.
Lenyap begitu saja
Dalam susunan susunan Panitia Monas tahun 1959, nama Sarwoko masih ada. Namun, dalam susunan panitia baru yang dikeluarkan tahun 1961 nama Sarwoko lenyap. Berikut seterusnya, mulai dari sejarah pembangunan Monas hingga Monas dibuka untuk umum tahun 1974 nama Sarwoko tidak pernah disebut lagi.
Saat bertemu dengan putra pertama dan putra ketiga Sarwoko, Sumartono dan Agustono Sarwoko, Nunus menanyakan tentang kiprah Sarwoko yang tak pernah disebut dalam sejarah pembangunan Monas. Ternyata, pihak keluarga tidak pernah mempertanyakan hal ini. Sumartono hanya menjawab, "Kalau mau dihargai jasa bapak ya syukur.”
Menurut Nunus, dahulu masalah ini juga sempat ditanyakan oleh wartawan Solichin Salam kepada Umar Wirahadikusumah selaku Ketua Harian Panitia Monumen Nasional. Menurut Umar, jika kita bertolak dari pernyataan Sudiro dan tulisannya dalam Kompas, maka tidak dapat diragukan pencipta ide atau penggagas berdirinya Tugu Nasional atau Monumen Nasional adalah Sarwoko Martokoesoemo.
Umar juga menyebutkan bahwa Bung Karno-lah yang menemukan ide tentang bentuk bangunan Monas yang kemudian dijabarkan sencara detail dalam bentuk rancangan bangunan Monas oleh Ir Soedarsono sebagai arsitek pelaksana. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa realisasi pembangunan Monas juga lahir dari pemikiran Sarwoko Martokoesoemo selaku penggagas awal.
Sampai saat ini, di Monas belum terpasang prasasti-prasasti yang menandakan siapa penggagas ide bangunan Monas, siapa arsitek pelaksananya, dan siapa pencetus awalnya. Agar tak terlewat dalam lintasan sejarah, catatan-catatan itu mungkin perlu ditorehkan di dinding-dinding Monas, bahwa Ir Soekarno adalah “Pembawa Ide Arsitektur Tugu Nasional/Monumen Nasional”, Ir Soedarsono adalah “Arsitek Pelaksana Tugu Nasional/Monumen Nasional”, dan Sarwoko Martokoesoemo adalah “Penggagas Tugu Nasional/Monumen Nasional”.
Tapi siapakah sebenarnya Sarwoko Martokoesoemo sehingga ia berkesempatan menyampaikan gagasan pembangunan Tugu Nasional/Monas kepada para pemegang tampuk pemerintahan pada waktu itu? Apabila ditelusuri garis keturunannya, ternyata Sarwoko bukan orang biasa seperti disebutkan oleh Sudiro di Kompas. Sarwoko ternyata masih keturunan Mangkunegoro III. Raden Mas Sarwoko adalah adik kandung Mr Sartono, tokoh yang pernah membela Bung Karno ketika diadili di Bandung tahun 1930.