Sistem Sertifikasi Berkelanjutan Masih Setengah Hati
Oleh
Siwi Yunita C
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah memperkuat sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau ISPO dinilai masih setengah hati. Proses pembahasan Peraturan Presiden tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang tidak terbuka membuat upaya penguatan sistem sulit tercapai. Pemerintah diharapkan lebih transparan dan membenahi substansi draf perpres yang dianggap belum memadai.
Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) untuk penguatan ISPO menyampaikan itu di Jakarta, Kamis (20/9/2018). FKMS merupakan koalisi dari sekitar 40 kelompok masyarakat sipil seluruh Indonesia yang mengikuti proses penguatan sertifikasi ISPO sejak 2016, antara lain Institute for Ecosoc Rights, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), dan Kaoem Telapak.
Peneliti Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, mengatakan, penguatan ISPO melalui perpres awalnya memberikan harapan dalam menciptakan industri sawit yang berkelanjutan. Tujuan dari penguatan ini yaitu pembenahan tata kelola, keberterimaan pasar, serta penyelamatan lingkungan hidup dan pemenuhan hak asasi manusia.
”Kami dalam prosesnya sangat mendukung. Namun, ketika masyarakat sipil antusias dengan upaya ini, justru dikecewakan dengan prosesnya (tidak lagi melibatkan masyarakat sipil). Kalau prosesnya sudah mengecewakan, subtansinya tentu jadi pertanyaan,” kata Sri.
Menurut Sri, hingga saat ini FKMS belum bisa mengakses draf perpres terbaru. Namun, berdasarkan draf terakhir yang dimiliki FKMS (14 Maret 2018) sejumlah substansi krusial pada draf awal (5 September 2017) dihilangkan. Padahal, poin-poin tersebut menjadi kunci sistem sertifikasi ISPO yang kredibel. Substansi yang hilang yaitu standar ISPO tidak lagi memuat prinsip perlindungan hutan alam primer, gambut, dan lingkungan, penghargaan HAM, dan ketertelusuran.
Pemantauan independen sebagai bagian pengawasan terhadap pelaksanaan sistem sertifikasi ISPO juga dihilangkan. Keberadaan pemantau independen direduksi hanya menjadi anggota komite ISPO. ”Bagaimana mungkin sertifikasi ISPO berjalan tanpa pemantauan independen, padahal kami mau memperkuat,” ujarnya.
Mekanisme pengaduan dan penyelesaian keluhan tidak diatur di dalam draf perpres. Padahal, mekanisme ini merupakan salah satu standar dan prinsip bahwa industri ini benar-benar mempunyai komitmen untuk menghormati HAM.
Aturan penegakan hukum dan penerapan sanksi atas temuan ketidakpatuhan juga tidak ada. Begitu pula dengan terbatasnya waktu penyiapan aturan-aturan pelaksana yang berpotensi menghasilkan aturan tidak berkualitas, yang pada akhirnya menghambat implementasi sistem sertifikasi ISPO.
”Kalau subtansi yang penting hilang dari perpres penguatan ISPO, bisa dibayangkan bagaimana jadinya aturan pelaksanaannya. Ini yang kita sangat seriusi. Komitmen pemerintah untuk penguatan itu setengah hati,” ujarnya.
Okto Yugo Setiyo dari Jikalahari mengatakan, hilangnya sejumlah substansi tersebut dari dalam perpres akan melemahkan ISPO. Sertifikat ISPO menjadi tidak berarti karena tidak adanya penegakan hukum dan sanksi terhadap perusahaan yang tidak patuh.
Di Riau, masih ada perusahaan bersertifikat ISPO yang belum menjalankan prinsip-prinsip ISPO, misalnya membeli tandan buah segar ke perkebunan yang berada di dalam kawasan hutan.
”Kalau perpres ISPO ini tidak diperkuat, apalagi ada substansi krusial yang hilang, kerusakan ekologi, konflik, dan hilangnya keanekaragaman hayati di Riau akan terus berlanjut,” katanya.
Communication Engagement SPKS Dian Mayasari mengatakan, draf perpres penguatan ISPO belum menjawab masalah petani swadaya yang memiliki kebun di dalam kawasan hutan. Di dalam draf tersebut juga belum ada insentif yang didapatkan pemodal kalau memiliki sertifikasi ISPO.
”Belum ada jaminan stabilitas harga dari pemerintah. Stabilitas harga akan membuat petani terpacu mengelola kebunnya dengan baik,” ujarnya.
Abu Meridian dari Kaoem Telapak mengharapkan pemerintah segera memperbaiki substansi dari draf perpres ini. Substansi-substansi krusial yang hilang diminta kembali dimasukkan. Proses penyusunan perpres juga diminta lebih transparan, inklusif, dan akuntabel.
Dengan demikian, sistem sertifikasi ISPO benar-benar dapat dikuatkan dan menghasilkan sistem sertifikasi yang kredibel, kuat, akuntabel, dan diterima seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dan pasar global.
Berdasarkan catatan FKMS untuk penguatan ISPO, baru 413 perusahaan yang memiliki sertifikat ISPO dari sekitar 2.300 perusahaan atau 2,3 juta hektar dari 14 juta hektar kebun sawit.
Sertifikasi ISPO merupakan upaya pemerintah dalam menciptakan industri kelapa sawit yang berkelanjutan. Selama ini industri kelapa sawit dituding sebagai sumber terbesar deforestasi di Indonesia sehingga mendapat citra negatif di pasar global. Dengan adanya sertifikasi ISPO, diharapkan angka deforestasi bisa ditekan dan produk sawit bisa diterima dengan baik.
Secara terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, proses penyusunan Perpres tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia memasuki tahap publik konsultasi.
Terkait proses penyusunan yang dianggap tidak transparan, Musdhalifah mengatakan, proses komunikasi sebenarnya sudah dilakukan. ”Hanya, menyiapkannya dalam bentuk regulasi kan perlu waktu. Isi kan tidak berbeda. Masa urusan komunikasi internal harus semua tahu,” katanya. (YOLA SASTRA)