Adaptasi Naskah Nusantara ke Layar Lebar Bisa Gaet Minat Generasi Milenial
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan literasi terhadap naskah Nusantara perlu dilakukan kepada generasi muda. Adaptasi naskah ke layar lebar merupakan salah satu cara untuk menarik minat para pemuda turut serta dalam melestarikan karya sastra kuno Indonesia.
Sekretaris Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Pramono di Jakarta, Jumat (21/9/2018), mengatakan, sebenarnya upaya gerakan literasi naskah Nusantara sudah dilakukan sebagian kecil kelompok pegiat sastra, utamanya naskah-naskah kuno di Indonesia. Kendati demikian, jumlah gerakan dan lingkup yang kecil membuat upaya ini belum memiliki efek yang signifikan.
Padahal, sudah ada delapan naskah dari Indonesia yang mendapatkan pengakuan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai warisan dunia atau Memory of the World. Empat di antaranya merupakan koleksi Perpustakaan Nasional RI, yaitu Kakawin Nagarakretagama, Babad Diponegoro, La Galigo, dan Cerita Panji.
Naskah Nusantara juga termasuk ke dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017. Pada Pasal 5, naskah atau manuskrip merupakan salah satu dari 10 Objek Pemajuan Kebudayaan. Sembilan obyek lainnya adalah tradisi lisan, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
”Hal ini seharusnya digunakan oleh generasi muda untuk mempelajari dan mengapresiasi naskah-naskah ini,” ungkap Pramono dalam diskusi Naskah Nusantara dan Potensi Industri Kreatif dan Pariwisata yang diadakan Perpustakaan Nasional RI.
Pramono mengakui bentuk naskah yang masih berupa teks dapat menghambat proses literasi. Kemajuan teknologi yang semakin pesat membuat minat membaca masyarakat, terutama anak muda, kurang tinggi. Oleh karena itu, karya adaptasi naskah Nusantara perlu dilakukan melalui media lain.
Hal ini juga dikatakan oleh filolog Achmad Opan Safari. Menurut dia, diperlukan siasat-siasat khusus untuk mengangkat tema dalam sebuah naskah Nusantara. Generasi sekarang belum tentu akan memahami isi naskah seperti Kakawin Nagarakretagama dengan membacanya secara langsung.
Salah satu media yang dapat menyedot perhatian generasi muda adalah film. Dengan membuat tayangan berdasarkan naskah-naskah kuno di Indonesia, baik adaptasi langsung maupun lepas, anak muda Indonesia dapat mempelajari nilai-nilai luhur yang ada dalam karya sastra melalui cara yang lebih menghibur.
Hal yang harus diperhatikan adalah menyesuaikan isi naskah dengan kondisi kehidupan sosial Indonesia. Karya adaptasi jangan sampai memudarkan pesan yang ingin ditonjolkan karena terlalu mengejar konteks sosial di Indonesia.
”Nilai-nilai yang ada dalam naskah itu harus tersampaikan dengan baik mau dari mana pun medianya,” kata Opan.
Selain itu, film yang dibuat pun tidak melulu harus film panjang. Media lain seperti film pendek, dokumenter, dan animasi juga dapat menjadi alternatif untuk memperkenalkan naskah Nusantara kepada generasi muda Indonesia. Semakin bervariasi jenis tayangan yang dibuat, semakin banyak pula masyarakat yang dapat dijangkau.
Pramono juga mencontohkan cara yang dilakukan Malaysia untuk mendidik generasi muda terhadap karya sastra kunonya. Mereka menggunakan serial televisi anak Upin-Ipin untuk memperkenalkan salah satu tokoh Melayu, Hang Tuah, dalam sebuah episode. Menurut dia, hal ini dapat dicontoh Indonesia untuk mendidik anak Indonesia mengenal tokoh-tokoh dalam naskah Nusantara sejak usia dini.
Dengan melakukan gerakan literasi melalui film, generasi Indonesia akan memiliki ingatan kolektif terhadap sebuah karya sastra kuno atau tokoh di dalamnya. Ingatan kolektif akan membentuk narasi kebangsaan yang modern dan berdasar pada nilai-nilai luhur yang dipelajari dalam film.
”Pada dasarnya, seluruh gerakan literasi yang dijalankan dengan baik akan memunculkan narasi kebangsaan yang baru dan semakin memperkuat akar budaya Indonesia di tanah sendiri,” ujar Pramono. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA TELLING)