JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah mengevaluasi harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar bersubsidi setiap tiga bulan diyakini membantu mengurangi beban fiskal. Kebijakan ini pernah diterapkan pada dua tahun awal pemerintahan yang sekarang. Padahal, beban anggaran subsidi untuk energi di 2019 kian besar.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institut Komaidi Notonegoro mengatakan, penyesuaian secara berkala untuk harga bahan bakar jenis premium dan solar bersubsidi dapat meringankan beban fiskal. Pasalnya, harga jual kedua jenis bahan bakar tersebut, untuk saat ini, jauh di bawah harga keekonomian. Payung hukum dasar penyesuaian harga secara berkala ada pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
"Kebijakan evaluasi ini bergantung pada pergerakan harga minyak mentah dunia. Ini dapat membantu meringankan beban fiskal yang harus ditanggung lantaran timbulnya selisih harga keekonomian dengan harga jual BBM ke masyarakat," kata Komaidi, Kamis (20/9/2019), di Jakarta.
Kendati sudah ada payung hukumnya, lanjut Komaidi, pemerintah justru mengunci harga jual premium dan solar bersubsidi. Sejak April 2016 sampai saat ini, harga jual premium Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Dengan asumsi harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS saat ini, lanjut Komaidi, harga keekonomian premium adalah Rp 8.500 per liter dan solar subsidi Rp 8.300 per liter.
"Berdasarkan proyeksi volume solar bersubsidi, konsumsi premium, dan penyaluran minyak tanah di 2019, ada potensi beban fiskal sebesar Rp 45 triliun yang harus ditanggung pemerintah untuk menutup selisih harga keekonomian dengan harga jual ke masyarakat," ucap Komaidi.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri menilai, penyesuaian harga BBM dapat menurunkan impor minyak. Selama ini, harga jual BBM domestik cenderung tidak berubah, terutama untuk BBM subsidi. Padahal, harga BBM subsidi seharusnya berubah dalam jangka waktu tertentu. Penyesuaian harga BBM bisa memberikan sinyal positif di pasar keuangan.
”Sebaiknya seperti itu, walaupun berat untuk pemerintah pada tahun 2019,” kata Yose (Kompas, 20/9/2018).
Terkait subsidi energi, pemerintah memutuskan mengubah asumsi makro untuk nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam Rancangan APBN 2019 dari semula Rp 14.400 per dollar AS menjadi Rp 14.500 per dollar AS. Perubahan tersebut menimbulkan pembengkakan subsidi energi. Dengan asumsi Rp 14.400 per dollar AS, subsidi yang dikucurkan negara adalah Rp 156,53 triliun dan bertambah menjadi Rp 157,79 triliun dengan asumsi Rp 14.500 per dollar AS.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan berpendapat bahwa penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi, serta mineral dan batubara tahun ini masih lebih besar dibanding belanja untuk subsidi energi. Pihaknya memproyeksikan total penerimaan tersebut sampai akhir tahun nanti sekitar Rp 240,3 triliun. Adapun anggaran untuk subsidi energi sampai akhir 2018 diperkirakan sebesar Rp 148,9 triliun.
"Sebenarnya, untuk neraca keuangan dalam APBN, khususnya sektor energi, masi timbul surplus. Sebab, penerimaan dari migas dan minerba masih lebih besar dari pada anggaran untuk subsidi energi. Surplusnya sekitar Rp 91,4 triliun," kata Jonan dalam keterangan resmi.
Adapun untuk harga jual BBM jenis premium dan solar bersubsidi, pemerintah memastikan harga tersebut tidak akan berubah setidaknya sampai 2019 nanti. Salah satu pertimbangan utama pemerintah terkait kebijakan tersebut adalah untuk menjaga daya beli masyarakat. Pemerintah juga memperluas kebijakan BBM satu harga untuk jenis premium dan solar bersubsidi.