Kekerasan dalam Pembagian Hak atas Tanah Masih Terjadi
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reforma agraria menjadi salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo dalam proses pengakuan hak atas tanah. Dalam praktiknya, program tersebut masih menyisakan permasalahan yang belum terselesaikan, yaitu adanya kekerasan dalam pembagian hak atas tanah bagi masyarakat.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, reforma agraria tidak hanya sekadar membagikan sertifikat, tetapi harus menyentuh seluruh sektor.
”Proses penanganan konflik agraria masih menggunakan cara kekerasan dan terjadi kriminalisasi terhadap para aktivis yang memperjuangkan hak atas tanah milik masyarakat,” kata Dewi dalam konferensi pers menuju Global Land Forum (GLF) 2018, Jumat (21/9/2018), di Jakarta.
Direktur National Land Coalition Mike Taylor membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan, permasalahan di Indonesia juga terjadi di sejumlah negara, yaitu adanya kekerasan terkait konflik agraria.
Secara global, sejak 2017 hingga sekarang, 270 orang yang terdiri dari pemimpin organisasi, aktivis, dan jurnalis tewas karena mempertahankan tanah dan sumber penghidupan mereka. Mike mengatakan, beberapa orang yang terbunuh tersebut berasal dari Indonesia.
Karena situasi tersebut, 550 orang dari 89 negara akan datang ke Indonesia dalam GLF 2018. Dalam acara tersebut, akan dibahas mengenai pemenuhan hak atas tanah dari rakyat, khususnya petani kecil, tunawisma, nelayan kecil, perempuan, masyarakat adat, dan perlindungan bagi pejuang hak atas tanah dan lingkungan.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menuntut pemerintah agar segera menerbitkan peraturan presiden tentang reforma agraria. ”Kami berharap reforma agraria menjadi agenda prioritas setiap pemerintah yang menjabat,” kata Nur.
Nur mengatakan, Walhi akan fokus mengawal proses pembangunan infrastruktur yang mengakibatkan perampasan tanah dan pengusiran warga. Ia menginginkan proses percepatan reforma agraria dapat segera direalisasikan.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Rukka Sombolinggi mengatakan, masyarakat pemilik suatu wilayah tidak pernah memiliki sejarah yang baik dengan pemerintah. ”Selalu ada perampasan tanah dan pemiskinan. Mereka (masyarakat adat) harus pergi dari tanah leluhur dan terjadi pelanggaran hak asasi manusia,” kata Rukka.
Menurut Rukka, pemerintah perlu menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi masyarakat terkait perampasan wilayah. Ia mengatakan, kebijakan pemerataan hak atas tanah yang dilakukan oleh pemerintah perlu dibicarakan dengan masyarakat adat sesuai dengan undang-undang.
Proses hukum
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Bambang Supriyanto mengatakan, pemerintah selalu memberikan sosialisasi sebelum menembuh jalur hukum. ”Kami selalu berusaha untuk memberikan penyadaran, sosialisasi, dan penjelasan regulasi sebelum menggunakan proses hukum,” kata Bambang.
Ia menjelaskan, pemerintah selalu berusaha untuk menurunkan masalah konflik agraria. Ia mengatakan, penetapan perhutanan sosial merupakan bagian dari resolusi untuk menurunkan konflik agraria. Pemerintah memberikan akses kepada masyarakat untuk mengelola atau memanfaatkan wilayah yang masuk dalam status perhutanan sosial sebagai usaha untuk pemerataan ekonomi.
Selain perhutanan sosial, pemerintah juga mengalokasikan tanah obyek reforma agraria (TORA). TORA merupakan kawasan hutan yang diberikan kepada masyarakat.
Bambang mengatakan, pemerintah menargetkan 12,7 juta hektar hutan adat yang dapat memiliki status perhutanan sosial dan TORA sebagai bagian dari realisasi program reforma agraria. Hingga Mei 2018, realisasi TORA baru mencapai 977.000 hektar. Adapun target pemerintah untuk TORA sebesar 4,8 juta hektar.
Ia menuturkan, proses pembebasan lahan untuk rakyat masih terbentur dengan berbagai kepentingan. Ia berharap, berbagai pihak, termasuk swasta, mau mendukung program pemerintah demi kesejahteraan masyarakat.